Sabtu 23 Mar 2019 05:01 WIB

Kisah Sky Castle, Gen Egois, dan Ujian Nasional

Cara curang pun dilakukan orang tua agar anaknya lulus ujian nasional.

Nidia Zuraya
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nidia Zuraya*

Perdebatan mengenai perlu tidaknya Ujian Nasional (UN) dipertahankan dalam sistem pendidikan nasional kembali mencuat. Pemicunya adalah omongan Cawapres 02 Sandiaga Uno saat debat ketiga antar cawapres pada 17 Maret lalu.

Dalam debat tersebut, Sandi menjanjikan bakal menghapus UN sebagai syarat kelulusan sekolah. Ia menilai, UN tidak layak dijadikan syarat kelulusan, karena tiap kota memiliki standar dan sistem pendidikan yang tidak sama.

Membahas soal UN, membuat saya teringat dengan 'Sky Castle', drama televisi yang mengangkat soal realita sistem pendidikan di Korea Selatan. 'Sky Castle' menyajikan jalan cerita mengenai kompetisi ketat dunia pendidikan di Negeri Ginseng.

Para orang tua dalam 'Sky Castle' diceritakan sangat terobsesi dengan dunia pendidikan dan berusaha keras untuk merancang kehidupan terbaik bagi anak-anak mereka. Indikator kehidupan terbaik menurut para orang tua di 'Sky Castle' adalah anaknya mendapat nilai tertinggi dalam ujian nasional dan diterima di fakultas kedokteran Universitas Seoul. 

 

Karena obsesi tersebut para orang tua di 'Sky Castle' memaksa anak mereka untuk ikut berbagai kelas bimbingan belajar tambahan hingga berlomba-lomba mencari guru les privat yang memiliki track record bagus dalam hal keberhasilan membawa anak didiknya diterima di fakultas kedokteran Universitas Seoul.

Untuk memenuhi obsesi orang tua murid, guru les privat dalam kisah 'Sky Castle' diceritakan berlaku curang dengan menyuap oknum guru di sekolah untuk membocorkan materi soal yang akan diujikan dalam UN. Singkat cerita, meski akhirnya diterima di fakultas kedokteran Universitas Seoul, sang anak didik justru memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri.       

Di kehidupan nyata, praktik curang dalam dunia pendidikan hingga tindakan bunuh diri para siswa, sudah banyak terjadi. Yang baru-baru ini terungkap kasus suap aktris Lori Loughlin untuk memasukkan anakknya ke perguruan tinggi bergengsi di Amerika Serikat.

Pemeran serial 'Full House' ini diduga membayar 500 ribu dolar AS agar putrinya diterima di University of Southern California (USC) dari jalur atlet. Padahal anaknya sama sekali tidak berpartisipasi dalam olahraga.

Hampir 50 orang diduga terlibat dalam skandal pendidikan di AS. Jaringan ini sudah memasukkan murid ke kampus paling elite di Amerika seperti Yale, Georgetown, Stanford, University of Southern California, UCLA dan University of Texas.

   

Apa yang dilakukan Lori untuk anaknya tak berbeda jauh dengan kisah orang tua di 'Sky Castle'. Para orang tua ingin menyombongkan pendidikan dan prestasi anak mereka di lingkungan sosial.

Dalam kisah 'Sky Castle', para orang tua yang ambisius ini mengibaratkan putra putri mereka seperti gen yang harus berkompetisi dengan gen lainnya, untuk meraih kesuksesan dan berada di posisi teratas piramida lapisan sosial. Karenanya, buku 'The Selfish 'Gene karya Richard Dawkins menjadi salah satu bacaan wajib anak-anak mereka sejak jenjang SMP.

Sayangnya, dalam penerapan teori selfish gene (gen egois) yang dikembangkan oleh WD Hamilton, Colin Pittendrigh dan George C Williams ini para orang tua justru mengarahkan anak mereka untuk bersikap egois terhadap orang-orang di sekelilingnya yang dianggap sebagai kompetitor.

Bagaimana dengan di Indonesia? beberapa tahun terakhir banyak kasus kecurangan penyelenggaraan UN yang terungkap ke publik. Meski sudah banyak kasus yang terungkap, toh nyatanya beragam kecurangan UN terulang setiap tahunnya.

Tak hanya praktik curang, sistem UN juga membuat anak didik stres. Dan, dalam beberapa kasus mereka mengambil jalan pintas dengan cara bunuh diri, karena takut tak lulus ataupun nilai UN yang diperoleh jelek.

Jika UN masih menjadi salah satu parameter penentu kesuksesan dalam dunia pendidikan, tentunya praktik-praktik curang tersebut masih akan tetap ada. Dan, sangat mungkin budaya curang ini akan dibawa hingga mereka memasuki dunia kerja.

Saya sependapat dengan aktivis pemerhati anak Seto Mulyadi yang mengatakan bahwa sistem pendidikan di Indonesia sudah salah. Menurut Seto, sistem pendidikan di Indonesia hanya terfokus pada aspek kecerdasan logika semata, namun abai terhadap poin utama seperti kecerdasan moral, spiritual dan etika.

Para orang tua tentunya menginginkan anak-anaknya sukses dalam pendidikan dan memiliki kehidupan yang (lebih) baik. Untuk menuju kesuksesan tersebut, apakah sebagai orang tua, kita menginginkan generasi penerus bangsa ini hanya mengandalkan kecerdasan logika saja, namun mengabaikan kecerdasan moral, spriritual dan etika? 

*) Penulis adalah Redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement