Kamis 21 Mar 2019 14:40 WIB

Cerita Guru Besar UIN Malang yang Merasa Dicurangi Kemenag

Penentu jabatan rektor menjadi hak penuh dari menteri agama.

Rep: Wilda Fizriyani / Red: Agus Yulianto
Guru Besar UIN Malang Profesor Mudjia Rahardjo mengungkapkan, kejanggalan pemilihan rektor pada 2017 lalu di kediamannya, Kota Malang, Rabu sore (20/3).
Foto: Republika/Wilda Fizriyani
Guru Besar UIN Malang Profesor Mudjia Rahardjo mengungkapkan, kejanggalan pemilihan rektor pada 2017 lalu di kediamannya, Kota Malang, Rabu sore (20/3).

REPUBLIKA.CO.ID, Pembahasan penangkapan Ketua Umum (Ketum) PPP Romahurmuziy atas kasus jual-beli jabatan terus bergulir hingga kini. Isu tersebut merambah hingga dunia kampus seperti di UIN Maulana Malik Ibrahim (Maliki) Malang. 

Guru Besar (Gubes) UIN Maulana Malik Ibrahim Profesor Mudjia Rahardjo mengaku menjadi salah satu korban atas ketidaktransparanan proses pengangkatan rektor di Kementerian Agama (Kemenag) pada 2017 lalu. Rektor UIN Maliki Periode 2013 hingga 2017 ini merasa dicurangi oleh sistem yang berlaku di Indonesia. 

Baca Juga

Mudjia yang semula mendapatkan rekomendasi terbesar dari senat ini justru harus teradang sebelum pelantikan terjadi. Mengenai kasus ini, Mudjia sebenarnya sudah tidak mau membahas kembali mengingat hal tersebut telah berlalu. Dia sudah menikmati kariernya sebagai dosen biasa di Fakultas Humaniora, UIN Maliki. 

"Saya juga sudah menikmati kegiatan saya sebagai profesor, ngajar, nguji, dan ngasih bimbingan," ujar Mudjia saat ditemui Republika.co.id di kediamannya, Sigura-gura, Kota Malang, Rabu sore (20/3).

Meski sudah tak lagi memikirkannya, isu jual-beli jabatan justru semakin ramai hingga saat ini. Terlebih lagi ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil menangkap Romahurmuziy. Kasus ini kemudian dikaitkan dengan hal lain, seperti masalah proses pengangkatan dan pemberhentian jabatan rektor di Kemenag.

Mudjia tahu penentu jabatan rektor menjadi hak penuh menteri agama (menag) berdasarkan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 68 Tahun 2015. Menag memiliki kekuasan untuk mengangkat dan memberhentikan jabatan rektor. 

"Kita semua terima, tapi hanya saja persoalannya enggak semau-maunya juga. Ada rambu-rambu yang harus diperhatikan, di kampus itu ada senat universitas," ujar Mudjia.

Mudjia mengklaim, mayoritas senat saat itu lebih merekomendasikan dirinya maju sebagai rektor dibandingkan lainnya. Karena pesaingnya berasal dari luar, penilaian para senat pun lebih mengarah kepada dirinya. Mereka tahu bagaimana kinerja dan kepemimpinannya selama memegang UIN Maliki dari 2013 hingga 2017.

Keyakinannya terpilih sebagai rektor tak hanya berhenti di suara senat. Para anggota panitia seleksi pemilihan rektor di Jakarta pun telah memastikan posisi tersebut untuk dirinya. Namun, semua itu musnah kala pelantikan rektor terlaksana.

"Ini yang jadi pertanyaan banyak orang. Kenapa dunia akademis yang biasa berpikir secara rasional bisa terjadi hal yang tidak rasional? Ini bahaya sekali hal semacam ini terus berlanjut. Enggak bisa memberikan pendidikan baik," ujar dia lagi.

Mudjia menegaskan, pengakuannya ini bukan karena kekecewaannya atas jabatan yang tak mampu diraihnya kembali. Ia lebih menyoroti sistem dan proses pemilihan rektor yang perlu diperbaiki. Menurut dia, PMA 68 Tahun 2015 sebaiknya ditinjau ulang karena lebih banyak mudharatnya.

"Karena senat universitas seakan enggak berdaya, padahal mereka para profesor, orang terdidik, dan sangat senior. Mereka seakan enggak ada artinya. Yang menang dikalahkan, yang kalah dimenangkan," ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement