Kamis 21 Mar 2019 17:43 WIB

White Supremacy dan Ancaman Global

Pelaku teror tidak lagi ada ikatan agama karena agama telah mereka hinakan.

Presiden Nusantara Foundation, Imam Shamsi Ali
Foto:
Salah satu terduga pelaku teror di Selandia Baru berhasil diringkus pihak keamanan

Ancaman Global serius

Pelaku penembakan umat Islam di Selandia Baru pada 2018 lalu melakukan perjalanan dan pertemuan dengan sesama kelompok White Supremacy di Eropa. Sejak itu rencana mass killing (pembunuhan massal) itu dimatangkan.

Artinya ancaman global terroris kaum putih (White Nationalist terrorists) bukan sebuah mitos. Tapi sebuah realita yang terang benderang di hadapan mata dunia. Bahkan boleh jadi akan menjadi ancaman yang lebih berbahaya dan lebih mengglobal daripada ancaman teroris ISIS.

Walaupun sangat mengejutkan bagi sebagian orang ternyata masih ada yang melihat bahwa White Nationalist ini bukan ancaman. Salah satunya adalah Presiden Amerika saat ini, Donald J Trump. Tapi untuk sebagian orang banyak hal ini bukan sesuatu yang mengejutkan sama sekali.

Posisi dan pandangan Donald Trump tidak mengejutkan karena memang sejak lama sejatinya memiliki pandangan yang sama dengan kelompok radical White Wing. Pandangan itu adalah saat ini kaum putih Eropa terancam oleh kaum yang berwarna (nonputih).

Walaupun kelompok yang biasa disebut 'people of color' ini mencakup semua nonwhite, termasuk orang hitam dan hispanic dan nonwhite lainnya, orang Islam dan Yahudi berada di garda terdepan untuk menjadi musuh bebuyutan mereka.

Orang Yahudi menjadi musuh bersejarah sejak Hitler dikalahkan di Perang Dunia II. Kekalahan Hitler itu merupakan simbol “survival” kaum Yahudi yang dibenci oleh White Supremacy, Hitler’s followers (pengikut Hitler).

Sementara umat Islam, selain memang dianggap pendatang, kejayaan Islam di Eropa masa lalu bagi mereka adalah momok yang menakutkan. Ketakutan ini tentunya diperkuat lagi oleh hipotesis Hangtington yang mengatakan pada akhirnya Islam dan Barat akan bertabrakan (clash).

photo
Korban selamat penembakan di Masjid Christchurch, Zaed Mustafa (di kursi roda) saat berada di pemakaman adiknya Hamza dan ayahnya Khalid Mustafa di Memorial Park Cemetery, Christchurch, Selandia Baru, Rabu (20/3).

Kembali ke posisi Donald Trump yang tidak mau mengakui bahaya White Supremacy, sekali lagi bukan sesuatu mengejutkan. Posisi pribadinya memang sejak lama senyawa dengan kelompok White Nationalists bahwa Islam adalah ancaman. Sehingga Donald Trump berulang kali menyampaikan dengan ungkapan: they hate us.

Salah satu aktualisasi dari sikap dasar Trump kepada Islam ini adalah ketika pemerintahanya mencoba melarang orang Islam untuk masuk Amerika. Percobaan kebijakan ini dikenal dengan istilah “Muslim ban”.

Runyamnya, pandangan dan sikap yang demikian Presiden Amerika ini berdampak banyak kepada warna hubungan antar manusia. Hal ini dikarenakan oleh realita bahwa negara ini adalah negara super power dan banyak menentukan wajah dan prilaku di berbagai belahan dunia. Maka jangan terkejut jika Mr. DT dalam banyak hal dijadikan sebagai “role model” (tokoh panutan) bagi kelompok radikal White Nationalists.

Hal lain dari keterkaitan antara pandangan White Supremacy dan kebijakan pemerintahan Donald Trump ada pada kebijakan imigrasinya. Sikap keras untuk menolak kehadiran imigran nonWhite di Amerika terlihat dimulai dari penolakannya kepada pengungsi dari Timur Tengah dan Afrika, hingga kepada usaha kerasnya untuk membangun pagar di perbatasan Amerika dan Meksiko.

Kebijakan itu sesungguhnya tidak terlepas dari kekhawatiran kaum White Nationalists bahwa Imigran akan segera mengambil alih bumi Eropa. Artinya kaum putih akan segera tergeser oleh kaum nonputih. Kekhawatiran ini tertuang dengan jelas dalam manifesto yang dituliskan oleh teroris yang menyerang masjid di Selandia Baru.Mereka yang biasa disebut Right Wing Terrorists ini menamakan diri dengan 'Reborn Knights of the Templar”, sebuah istilah yang asosiasinya ke perang suci masa lalu atau Crusade.

Dalam manifesto mereka ini ada tiga hal yang mungkin bisa menjadi perhatian sekaligus menjadi bukti ikatan antara kebijakan imigrasi Donald Trump dan mereka. Pertama, disebutkan bahwa tujuan mereka adalah mengurangi tingkat imigrasi di daratan Eropa (Barat) dengan intimidasi dan eliminasi secara fisik (maksudnya pembunuhan atau pengusiran).

Kedua, dengan aksi mereka diharapkan umat Islam atau nonputih imigran lainnya melakukan reaksi ekstrim, sehingga pemerintah dapat mengambil kebijakan untuk mengusir mereka dari daratan Eropa (Barat). Ketiga, untuk memancing kekerasan dan serangan balik serta melakukan perbenturan antara kaum Eropa dan siapa yang mereka sebut dengan invaders (pendatang haram).

Konten manifesto ini jelas sejalan dan senyawa dengan kebijakan imigrasi Donald Trump. Sehingga Donald Trump sendiri dalam banyak kesempatan memakai kata “invaders” bagi pedatang. Berkali-kali kita dengarkan Donald Trump menyampaikan istilah “they invade us”.

Khusus untuk orang Islam Donald Trump menyampaikan dua kekhawatiran sekaligus. They hate us (ancaman idiologi). Dan they invade us (ancaman fisik). Maka wajar jika usaha melarang orang Islam masuk Amerika bukan hal yang mengejutkan sama sekali.

Ironisnya bagi kelompok white radicals ini orang Islam sudah ada dalam Amerika. Sehingga mereka hanya dapat menahan marah besar dan kebencian terbuka kepada umat ini.

Umat Islam Amerika tidak terintimidasi dan takut. Dalam pernyataan di sebuah acara interfaith solidarity di kota New York, saya sampaikan: we are not we will never be intimidated. We are careful, but not fearful.

Komunitas Muslim Amerika dengan  terbuka dan tegas menyampaikan: We are all Americans. We are here and we will not go where. We may be immigrants. But remember, you are also sons and daughters of immigrants. So let’s the Native Indian Americans to decide, who should stay and who should leave their lands.

Kira-kira maknanya: kami semua adalah juga bangsa Amerika. Kita ada di sini dan akan tidak akan ke mana-mana. Kita boleh jadi pendatang. Tapi ingat, Anda juga adalah anak cucu para pendatang. Karenanya, biarlah bangsa asli Indian American yang memutuskan siapa yang boleh tinggal dan siapa yang harus hengkang dari bumi mereka.

Akhirnya wahai Amerika dan dunia. Mari kita hadapi musuh bersama ini. Ancaman kepada kemanusiaan kita bersama adalah ketakutan kepada perbedaan yang ada. Dan ketakutan itu dimulai dari ketidaktahuan kita tentang siapa yang kerap kita panggil “orang lain” (the other).

Solusi ditawarkan oleh Alquran: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang lelaki dan seorang wanita. Lalu menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku (beragam) untuk saling mengenal. Sesungguhnya yang termulia di antara kalian di mata Allah adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha mengawasi” (Surah 49:13).

Semoga dunia mampu membuka mata!

New York, 19 Maret 2019

* Presiden Nusantara Foundation

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement