REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Perkembangan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di Jawa Barat tak tumbuh positif. Menurut Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, sekitar 60 persen BUMDes di Jabar mati.
Ridwan Kamil mengatakan kondisi tersebut terjadi karena perencanaan yang tidak matang dan tidak adanya pembeli atau market menjadi kendala selama ini. "Disuruh bikin BUMDesnya bari bingung bikin apa jualnya kemana," ujar Ridwan yang akrab disapa Emil di Gedung Sate, Selasa (19/3) petang.
Menurut Emil, ia memiliki konsep untuk menghidupkan BUMDes di Jabar. Di antaranya, mencari pembeli yang siap, kemudian membangun BUMDes nya.
"Sekarang saya balik, saya cari dulu pembelinya kayak LULU (salah satu korporasi besar di luar negeri), baru cari dan bikin perusahaan di desa. Insya Allah eksperimen ini di tahun ini akan ada contohnya," paparnya.
Menurut Emil, pihak LULU telah ditawarkan beberapa macam produk pedesaan asal Jabar melalui One Village One Product. Mereka pun, sepakat untuk membeli barang dari desa-desa di Jabar.
"(Saya tanya ke LULU) Mau nggak Anda beli barang-barangnya itu produksi desa kami jadi One Village One Company. Nanti ke mereka juga, kemarin sudah deal. Pak kita (LULU) kekurangan jagung, kekurangan apa," katanya.
Oleh karena itu, kata dia, selama volumenya sepakat maka ia membuat perusahaannya di Cirebon, Majalengka dan Cianjur. "Ini pola kita deal dulu dengan offtaker istilahnya pembeli, baru dibikin perusahaan di desa," katanya
Menurut Emil, Ide tersebut bahkan telah disampaikan pada Menteri Perdagangan Enggar Lukito dan Enggar mendukung perdagangan langsung ekspor produk UMKM. Karena yang akan datang ke Jawa Barat ini pembeli yang juga punya toko atau punya mal di negaranya. Hal ini akan luar biasa seolah-olah orang Jawa itu hanya dagang saja, tahu-tahu barangnya ada di negara lain.
"Sekarang kan kalau kita dorong sendiri dia bingung ekspornya pakai bank ekspor, mana prosedurnya, ke pelabuhan mana. Di sananya ditipu apa nggak kan. Ini seringkali terjadi," katanya.
Oleh karena itu, kata dia, polanya sekarang ia ubah. Yakni, pembelinya yang dibawa ke Indonesia untuk membereskan ekspornya dan urusan di negaranya.
"Sehingga orang Jawa Barat tinggal volumenya sebanyak-banyaknya saja menjual ke pihak yang sudah dikurasi, " katanya.
Emil menegaskan hal itu cuma pola. Pihaknya, membawa pembelinya untuk diketemukan dengan penjual di Jawa Barat hingga urusan rumit ekspor dan lain-lain diurus oleh pembeli yang didatangkan.
"Makanya saya minta ketua Kadin untuk bikin pameran tapi yang datang ke sana hanya grup ini. Jadi spesifik didesain untuk si pembeli ini bukan umum," katanya.
Selain itu, kata dia, mereka pun akan memberi masukan. Misalnya, kemasannya jelek atau kemasannya kurang. Termasuk, Pemprov Jabar akan menyeleksi sustainabilitasnya.
"Karena dia komplain pernah beli barang Indonesia tiga bulan berhenti. Jadi semangat jualan prototipenya, pas partai besar dan keberlanjutan engos-engosan," katanya.
Sementara menurut Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Provinsi Jawa Barat Dedi Supandi, dari aspek BUMDes pihaknya akan memilah desa yang belum memiliki BUMDes, sudah memiliki BUMDes, desa yang memiliki Bumdes tapi belum berjalan efektif.
Selain itu, kata dia, klasifikasi pun akan dilakukan dari segi permodalan pada setiap BUMDes. Di mana, ada yang kelas Rp 10 juta ke bawah, Rp 10-100 juta juga kelas Rp 100 juta ke atas.
"Bahkan ada sekitar 6 BUMDes yang modalnya di atas Rp 1 miliar. Nanti kita klasifikasi," katanya.
Belum lagi, kata dia, dari sektor pemasaran produk Bumdes tersebut. Jadi, ada yang skalanya masih dipasarkan pada level desa itu sendiri, level kota, provinsi hingga level internasional. "Itu yang kita pacu dan kembangkan," katanya.