REPUBLIKA.CO.ID, TASIKMALAYA -- Sekitar 75 ribu kepala keluarga (KK) atau 40 persen warga Kota Tasikmalaya masih belum memiliki sanitasi yang layak. Kepala Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya Cecep Zainal Kholis mengatakan, warganya banyak yang belum memiliki septik tank di rumahnya masing-masing.
Padahal, menurut dia, septik tank merupakan salah satu infrastruktur yang dibutuhkan untuk mencapai sanitasi layak. Namun, berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya, baru 60 persen warga yang sudah memiliki septic tank.
"Kalau di Kota Tasik sebenarnya hampir semua sudah ada klosetnya, hanya mereka sebagian besar belum punya septic tank. Kalau yang masih menggunakan jamban memang masih ada, tapi sedikit sekali," kata dia, Senin (18/3).
Ia menegaskan, pihaknya sudah merancang program untuk menjadikan Kota Tasikmalaya open defecation free (ODF) atau kondisi ketika setiap individu dalam komunitas tidak buang air besar sembarangan (BABS). Pasalnya, perilaku BABS bukan saja mencemari lingkungan, melainkan juga berpotensi menimbulkan penyakit.
Cecep menyebutkan, salah satu penyakit yang berpotensi terjadi adalah stunting. Menurut dia, kondisi lingkungan yang buruk menyebabkan bayi lahir dengan kondisi stunting.
"Kita ingin tuntas, jangan lagi ada daerah-daerah yang sanitasinya jelek. Wali Kota juga sudah menunjukkan perhatiannya," kata dia.
Menurut dia, sejauh ini Pemerintah Kota (Pemkot) Tasik baru bisa mengentaskan perilaku BABS di tiga kelurahan, yaitu Kelurahan Gunungtandala, Gununggede, dan Sukajaya. Namun, ke depan, ia optimis akan bisa mengentaskan perilaku BABS di seluruh Kota Tasik.
"Ini semua kan tergantung komitmen kepala daerah. Pak wali sendiri menargetkan 2022 masalah ini selesai dengan disediakan Rp 20 miliar," kata dia.
Kepala Seksi Kesehatan Lingkungan, Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya, Joko Puji Hartono mengatakan, upaya mengentaskan perilaku BABS tidak cukup dengan hanya membangun infrastruktur. Lebih dari itu, kebiasaan warga juga harus didobrak.
Menurut dia, mengubah perilaku itu lebih sulit daripada membangun infrastruktur. Karena itu, diperlukan pemicuan agar masyarakat sadar bahwa BABS itu tidak baik.
"Takutnya, dibikinkan septic tank tapi enggak dipakai. Kita inginkan, perilakunya didobrak, fisiknya diimbangi. Karena itu, kita harus melatih dan mengarahkan," kata dia.
Joko mengatakan, bantuan infrastruktur hanyalah stimulan bagi masyarakat untuk berubah. Yang paling penting, kata dia, memberikan kesadaran dan motivasi agar masyarakat berubah karena kebutuhannya sendiri.
Ia menjelaskan, BABS itu sudah tidak sesuai dengan standar kesehatan. Jika tidak ditampung dengan baik, tinja bisa menjadi sumber penyakit. Ia mencontohkan, tinja yang tak ditampung di septic tank biasanya mengalir ke ke kolam atau kali. Di kali, tinja akan dimakan ikan, dan manusia mengonsumsi ikan yang sama.
"Kami ingin yang masuk ke badan air itu sudah ternetralisir," kata dia.
Wali Kota Tasikmalaya Budi Budiman mengatakan, pihaknya siap mendukung program pengentasan BABS di wilayahnya. Ia menargetkan, pada 2022 Tasikmalaya sudah menjadi Kota ODF atau kota yang bebas dari perilaku BABS.
Budi juga telah menyiapkan anggaran sekitar Rp 20 miliar untuk mengentaskan BABS. "Yang penting datanya jelas, nanti bisa minta bantuan provinsi dan pusat juga," kata dia.
Menurut dia, sistem sanitasi menunjukkan martabat kota itu sendiri. Karena itu, ia sangat mendukung program pengentasan BABS.
"Kita harus bebas, itu martabat kota. Sistem sanitasi itu memperlihatkan etika kota kita," kata dia.