REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berbagai upaya mengentaskan gizi buruk gencar dilakukan pemerintah. Salah satunya adalah meningkatkan asupan gizi anak melalui 'isi piringku', panduan porsi gizi seimbang yang mulai dikampanyekan Kementerian Kesehatan akhir 2017 yang lalu.
Isi piringku menggambarkan porsi yang dikonsumsi dalam satu piring terdiri dari 50 persen sayur dan 50 persen karbohidrat dan protein. Isi piringku juga membatasi konsumsi gula, garam dan lemak (GGL).
Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Isi Piringku gencar disosialisasikan melalui posyandu. Wakil Pokja IV TP PKK Daerah Istimewa Yogyakarta Dr Siswatiningsih, SU mengatakan pada dasarnya kondisi gizi anak di DIY sudah bagus. Meski demikian, edukasi mengenai gizi terus menerus dilakukan melalui posyandu.
"DIY itu ada 438 dan lebih dari 5 ribu lebih dusun. Semua kebijakan pemerintah menyangkut kesehatan ibu dan anak disosialisasikan melalui posyandu. Di dusun, kadernya Posyandu memang masih muda-muda, namun aktif. Sementara di kota Jogja, kadernya memang tua-tua tapi mahir administrasi," ujar Siswati.
Terkait intervensi gizi oleh pemerintah, ia mengapresiasi kebijakan yang telah berpihak pada kesehatan masyarakat, terutama ibu dan anak. Termasuk, kebijakan terbaru yang dikeluarkan BPOM dalam PerBPOM No 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan yang diharapkan berdampak positi terhadap peningkatan gizi anak. Salah satu aturan yang menjadi perhatian dalam kebijakan tersebut adalah pasal-pasal tentang susu kental manis.
Terkait hal itu, Siswati menyatakan kebijakan tersebut sudah disosialisasikan melalui kader-kader mulai dari tingkat provinsi, desa hingga dusun. Dijelaskan Siswanti, PKK memang tidak selalu diikutkan karena sosialisasi biasanya dilakukan lintas instansi. Namun meski demikian, ia memastikan kader dari propinsi hingga dusun sudah mensosialisasikan melalui posyandu.
"Dulu sebelum di informasikan, susu kental manis memang masih (dikonsumsi sebagai minuman anak). Akan tetapi dulu belum ada himbauan sehingga masih dianggap susu sekarang dibilang minuman bergula. Sekarang sejak ada himbauan dari pemerintah, sudah berkurang. Akan tetapi prakteknya sampai sekarang itu masih harus dilihat dilapangan," ungkapnya.
Eka, kader posyandu di desa Ponjong, Gunung Kidul mengatakan sejak ramainya pemberitaan tentang susu kental manis setahun yang lalu, masyarakat sudah banyak yang mulai menghentikan penggunaan SKM. "Sekarang sudah tahu semua, meski masih ada beberapa yang mengkonsumsi. Tapi tidak banyak," ucap Eka.
Diceritakan Eka, balita yang masih mengkonsumsi SKM sebagai minuman susu karena sudah terbiasa. "Karena sudah terbiasa, jadi mau dihentikan susah," ujar Eka.
Tahun 2018 yang lalu, sejumlah daerah di Gunung Kidul masih manjadi perhatian akibat angka stunting yang cukup tinggi. Dinas Kesehatan Gunungkidul mencatat ada sekitar 6.200 balita stunting di Gunungkidul tiap tahunnya.