REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) mengingatkan agar Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mengintegrasikan Moda Raya Terpadu (MRT) Jakarta dengan transportasi umum lainnya. Menurut Kepala BPTJ Bambang Prihartono, apabila tidak ada integrasi antarmoda dikhawatirkan kehadiran MRT justru mengundang kemacetan.
"Kita khawatir stasiun-stasiun MRT akan menjadi titik kemacetan. Jangan sampai terjadi nanti, MRT yang kita harapkan mampu mengurai kemacetan malah menjadi sumber kemacetan baru," ujar Bambang dalam keterangan persnya, Jumat (15/3).
Ia menjelaskan, kehadiran MRT Jakarta yang direncanakan akan beroperasi pada Maret 2019 diharapkan dapat menambah jumlah pengguna transportasi umum. Kuncinya, kata dia, adalah integrasi antara MRT dengan feeder atau angkutan pengumpan.
Bambang mengatakan, MRT Jakarta fase I rute Lebak Bulus-Bundaran Hotel Indonesia (HI) tak bisa berdiri sendiri. Demi berjalan optimal, layanan MRT harus ditopang dengan angkutan massal yang mudah diakses masyarakat menuju atau melanjutkan perjalanannya.
Ia menuturkan, ketersediaan angkutan pengumpan ini penting agar masyarakat mudah mengakses stasiun MRT dari tempat tinggal. Sehingga, akan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi yang akan menuju stasiun dan menghindari potensi kemacetan yang terjadi.
"BPTJ bersama Dinas Perhubungan DKI Jakarta, MRT, LRT Jakarta serta Transjakarta terus melakukan koordinasi guna mengantisipasi kendala-kendala yang kemungkinan terjadi ketika nanti resmi beroperasi," kata Bambang.
Ia memaparkan, koordinasi yang dilakukan diantaranya memastikan integrasi antarmoda tidak hanya secara fisik tetapi juga sistem. Integrasi secara sistem yang dimaksud khususnya menyangkut alat pembayaran sehingga masyarakat cukup menggunakan satu alat pembayaran untuk penggunaan semua moda.
Bambang mengatakan, BPTJ sudah memfasilitasi proses integrasi sistem pembayaran ini. Pihaknya hanya menunggu hasil audit dari Bank Indonesia. Untuk saat ini sistem pembayaran yang sudah terintegrasi yakni KRL dan Transjakarta. Nantinya diharapkan juga pada MRT dan LRT Jakarta.
Ia menambahkan, Kebijakan lain yang dibutuhkan untuk mendorong optimalisasi penggunaan MRT adalah pembatasan penggunaan kendaraan pribadi. Untuk itu, Bambang berharap Pemprov DKI berupaya segera mewujudkan implementasi ERP (Electronic Road Pricing).
“Seandainya ERP belum memungkinkan dalam waktu dekat, perlu dipertimbangkan adanya penerapan kebijakan ganjil genap sehari penuh,” kata Bambang.
Menurutnya, penerapan ganjil genap sehari penuh pada waktu penyelenggaraan Asian Games lalu sudah terbukti efektif mengurai kemacetan di jalan arteri Jakarta. Namun, kata dia, ketika kebijakan ganjil genap diubah hanya menjadi pagi dan sore seperti saat ini, kemacetan cenderung meningkat lagi.
Di sisi lain, ia ingin operasional MRT Jakarta mampu membawa peradaban baru. Bambang menambahkan, kemudahan mengakses MRT melalui layanan angkutan umum massal yang terintegrasi dapat memicu budaya berjalan kaki dalam beraktivitas sehari-hari.
"Fasilitas pejalan kaki yang tersedia ada saat ini begitu menunjang dan sangat memadai. Setelah turun dari MRT, untuk menuju kantor jika cukup dijangkau dengan berjalan kaki, kenapa harus naik kendaraan lagi," jelas Bambang.
Ia melanjutkan, berdasarkan masterplan atau rencana induk yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 55 tahun 2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jabodetabek. Terdapat indikator kinerja utama yang harus tercapai dimana salah satunya adalah akses jalan kaki.
Untuk mendapatkan layanan angkutan umum massal maksimal sejauh 500 meter. Bambang mengatakan, jika harus berpindah moda, harus tersedia pula fasilitas pejalan kaki dengan jarak tidak boleh lebih dari 500 meter.
Selain itu, menurutnya, sosialisasi yang harus terus dilakukan tentang adab menggunakan MRT Jakarta. Di antaranya cara penumpang berdiri, antre hingga masuk rangkaian kereta MRT atau Ratangga.
"Sehingga diharapkan bisa benar-benar mengubah masyarakat tidak hanya dalam menggunakan MRT namun juga bertransportasi secara umum," katanya.