Kamis 14 Mar 2019 21:31 WIB

Aturan Guru Paud Non-Formal yang Digugat di MK

judicial review terkait guru Paud nonformal yang tidak diakui negara.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Nashih Nashrullah
Pengenalan Rambu Lalu-Lintas Petugas kepolisian Lalu Lintas Polres Lhokseumawe mengajarkan anak PAUD menggunakan helm depan belakang dan pemahaman rambu lalu lintas di Taman Kanak (TK) dan PAUD Nurul Iman, Lhokseumawe, Aceh, Kamis (28/2/2019).
Foto: Antara/Rahmad
Pengenalan Rambu Lalu-Lintas Petugas kepolisian Lalu Lintas Polres Lhokseumawe mengajarkan anak PAUD menggunakan helm depan belakang dan pemahaman rambu lalu lintas di Taman Kanak (TK) dan PAUD Nurul Iman, Lhokseumawe, Aceh, Kamis (28/2/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang judical review dalam rangka perjuangan menghapuskan ketidaksetaraan bagi guru pendidikan  anak usia dini (Paud) non-formal. 

Diketahui, judicial review terkait guru Paud nonformal yang tidak diakui negara sebagai guru sebagaimana yang tertuang dalam Undang-undang. 

Baca Juga

Dalam sidang kelima, pemohon yakni Nisa Rosadi menghadirkan ahli hukum Heru Susetyo. Sementara termohon dalam hal ini pemerintah menghadirkan ahli psikologi dari Universitas Airlangga, Nur Ainy.   

Kepada para ahli,  Hakim MK, Saldi Isra, menanyakan apakah bila status guru formal dan nonformal dibedakan akan berpengaruh ke psikologis anak? 

Menanggapi hal tersebut, Heru  menegaskan tidak perlu dibedakan antara guru formal dan guru informal. 

"Tidak perlu dibedakan formal dan nonformal karena ini menjadi bagian keanekaragaman dari Indonesia. Ketika dia sudah mendapat pengakuan dan jangan dibeda-bedakan karena kualifikasi yg diminta sama," tegas Heru di ruangsidang Mahkamah Konstitusi, Kamis (14/3). 

Sementara ahli psikologi Nur Ainy mengatakan pendidikan formal dan nonformal hanya ada di Indonesia. "Anak belum usia belum sekolah lebih tepat masuk ke pendidikan nonformal Paud, kelompok bermain, dan lainnya. Itu konsep tepat sesuai dengann usia tumbuh kembang anak," tuturnya.  

"Pembedaan guru formal dan nonformal. Status guru melekat dari konsekuensi yang dilakukan guru di lembaga-lembaga tersebut. Di Indonesia karena ada jalur formal dan nonformal maka tidak semua bisa disebut guru. Bisa disebut sebagai pengasuh," tambahnya. 

Menurutnya karena tidak bisa menjadi satu maka harus dibedakan untuk saling mendukung. 

"Misalnya di TK hanya empat jam, sisanya dididik keluarga, masyarakat, masuk sekolah minggu dan sebagiannya. Jadi pendidikan formal dilengkapi pendikan informal begitu sebaliknya karena mereka hidup dalam keadaan yang kompleks," terangnya.

Sementara ahli hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, yang merupakan kuasa hukum dari pemohon menilai, aturan tersebut telah mendiskriminasi pengajar PAUD nonformal karena dianggap bukan guru. Akibatnya guru PAUD nonformal tidak bisa diangkat menjadi pegawai, digaji resmi, diberi tunjangan, dan disertifikasi sebagai guru.

“Pemerintah memang membedakan pendidikan PAUD formal dan nonformal itu kita terima. Tapi persoalannya mengenai gurunya, haruskah dibedakan antara formal dengan nonformal,” ujar Yusril 

Yusril menilai, guru PAUD nonformal mengajarkan hal yang sama dengan guru yang mengajar di pendidikan formal. Oleh karena itu, menurutnya, guru PAUD non formal harus mendapatkan hak yang sama dengan guru di pendidikan formal. 

“Tidak boleh ada kesempatan yang tidak sama dalam mencapai taraf penghidupan yang layak dan tidak boleh ada diskriminasi perlakuan pada orang yang memiliki tugas dan kewajiban yang sama,” katanya. 

Yusril mengaku tak sepakat dengan keterangan ahli yang dihadirkan pihak pemerintah dalam sidang di MK hari ini. Menurutnya, keterangan ahli tersebut tak relevan dengan pengujian UU yang ia ajukan ke MK. 

“Keterangan dari ahli tidak terlalu relevan dengan pengujian di MK karena yang dipersoalkan adalah sebuah norma. Tapi yang dijelaskan tadi justru pembedaan pendidikannya,” ucap Yusril. 

Ketua Himpaudi, Netti Herawati yang juga ikut dalam judical review berharap agar tidak lagi ada diskriminasi terhadap guru Paud.

"Yang mau kami tegaskan adalah apakah seorang guru di jalur Informal dan formal  harus dibedakan padahal yang ingin dicapai adalah kepentingan dan tumbuh kembang terbaik untuk anak," ucapnya.

"Untuk Himpaudi kami dukung dalam doa dan dukungan dan juga tetap meminta kepada seluruh laskar Himpaudi yg dalam catatan kami 400 ribu guru untuk tetap mendidik anak untuk menjadi pendidik terbaik," tambahnya. 

Ia menambahkan lagi, Himpaudi juga mengimbau kepada pemerintah bahwa ketika menginginkan negara yang luar biasa di masa depan, maka pendidikan anak usia dini jadi fondasi. Karena bila pondasi tersebut kuat maka bangsa ini jadi kuat. 

"Itulah para guru-guru paud ngga perlu dapat diskriminasi terhadap pemgembangan profssi dan juga kesejahteraannya," tegasnya.

Dalam pasal (1) UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen menyebutkan bahwa guru merupakan pendidik profesional bagi anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.  

Gugatan terkait aturan guru PAUD non formal ini diajukan seorang guru PAUD Anisa Rosadi dengan kuasa hukum Yusril sejak Desember 2018. Ia menggugat pasal (1) dan pasal (2) UU Guru dan Dosen.

 

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement