REPUBLIKA.CO.ID, KULONPROGO -- Kabupaten Kulonprogo merupakan salah satu kabupaten/kota yang memiliki jumlah penderita tuberkulosis (TB) cukup banyak di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Kondisi itu sedikit banyak dikarenakan masih sulitnya melakukan deteksi terhadap penderita TB.
Kepala Bidang Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Kabupaten Kulonprogo, Baning Rahayu Jati membenarkan, Kulonprogo masih masih mengalami banyak kendala dalam penanganan TB. Masih sangat sedikit penderita mau melaporkan atau sekadar memeriksakan.
"Kami menemukan saja masih sulit, belum lagi kendala dalam pengobatan," kata Baning saat ditemui di Pusat Kedokteran FKKMK Universitas Gadjah Mada (UGM), Selasa (12/3).
Soal pengobatan, Baning menerangkan, masih terjadi kasus putus obat yang cukup tinggi. Belum lagi, untuk kasus-kasus TB memiliki risiko resistensi obat yang terbilang sangat kuat.
Untuk itu, ia menekankan, Pemkab Kulonprogo akan memberikan dukungan penuh dalam program Zero Tuberculosis. Program itu sendiri yang diinisiasi dan dilaksanakan Pusat Kedokteran FKKMK UGM.
"Nanti tinggal kita diskusikan akselerasinya seperti apa," ujar Baning.
Selama ini, Dinas Kesehatan Kabupaten Kulonprogo sudah melakukan usaha-usaha pencegahan. Salah satunya dilakukan dengan menggandeng organisasi kemasyarakatan seperti PP Aisyiyah.
Selain itu, puskesmas di Kabupaten Kulonprogo disebut sudah mampu melakukan diagnosis sampai terapi. Bahkan, rumah-rumah sakit swasta sudah mampu dilibatkan dalam penanganan TB.
Sayangnya, tetap saja kematian akibat TB masih terbilang tinggi di Kabupaten Kulonprogo. Apalagi, kasusnya jika ditemukan satu orang dalam satu keluarga, kerap menularkan ke adik, kakak, ibu, dan ayahnya.
Ia menekankan, Kabupaten Kulonprogo sudah melakukan Program Indonesia Sehat Dengan Pendekatan Keluarga (PISPK). Namun, melalui program Zero Tuberculosis PISPK akan dimasifkan lagi.
Sebab, selama ini, pelaksanaan PISPK sulit dilakukan karena pendataan masih berdasarkan pengakuan. Secara umum, sistem deteksi yang dimiliki belum bisa mendekati 100 persen.
"Menemukan memang tidak mudah, 2018 kita baru bisa menemukan 253 kasus dari target 418 kasus, baru bisa sekitar 60 persen," kata Baning.