REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf mengapresiasi hasil survei SMRC terkait tingkat kepercayaan publik terhadap KPU sebagai penyelenggara pemilu. TKN mengatakan, publik menilai KPU telah bekerja keras, independen, berupaya semaksimal mungkin untuk profesional.
"Kita punya kepentingan agar KPU ini miliki legitimasi agar bisa bekerja baik makanya jangan dikacaukan, jangan diganggu, jangan dideligitmasi," kata Wakil Ketua TKN Abdul Kadir Karding, Selasa (12/3).
Karding berpendapat, hasil survei SMRC itu menjadi hal penting di tengah maraknya isu dan berita bohong yang menyebut KPU tidak netral. Dia mengatakan, ada pihak-pihak yang sengaja membangun opini untuk mendelegitimasi KPU.
Menurut Karding, upaya mendeligitimasi serta mengganggu itu di-framing seakan-akan KPU dipakai untuk kepentingan pemerintah. Ketua DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini menegaskan jika hal itu tidak benar.
Hasil survei SMRC terkait "Dukungan Calon Presiden dan Integritas Penyelenggara Pemilu" mendapati 80 persen publik percaya kepada KPU sebagai penyelenggara pemilu. Hanya 11 hingga 12 persen responden yang kurang atau tidak yakin dengan KPU.
Pengamat komunikasi politik Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing menilai kritik soal netralitas KPU itu sudah ada sejak sebelum pemerintahan Jokowi, SBY dan sebelum-sebelumnya. Dia mengatakan, tujuannya untuk membuat orang-orang yang mendukung kekuatan politik tertentu menjadi pasif.
"Supaya jumlah orang yang ke TPS dan kotak suara yang mendukung kekuatan politik tertentu berkurang," kata Emrus.
Dia mengatakan, hasil survey yang menyatakan bahwa 80 persen publik masih memercayai KPU sebagai penyelenggara pemilu membuktikan jika mayoritas masyarakat tidak terpengaruh dengan frame yang dibangun. Meskipun, dia melanjutkan, masih ada sekitar 10-11 persen publik yang percaya bahwa KPU tidak netral.
Emrus mengatakan, hasil 80 persen dari sudut statistik sudah signifikan dan sangat kuat serta tidak bisa digeneralisasikan ke populasi. Artinya, dia meneruskan, KPU sudah sangat mempunyai representasi secara politik maupun legitimasi dari rakyat.
Kendati, Emrus menggarisbawahi jika KPU juga tetap memiliki kekurangan. Dia mengatakan, contohnya terkait warga Negara Asing (WNA) yang masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). "Itu kan sudah dituntaskan, artinya KPU mendengarkan kritikan dan masukan. Jadi harus saya katakan, dengan segala kelemahannya, KPU bekerja professional," katanya.
Emrus optimis dengan kemampuan KPU saat ini, lembaga penyelenggara pemilu itu akan tetap independen dalam melakukan tugas-tugasnya hingga presiden terpilih dan dilantik. Dia mengatakan, kritik ini bisa menjadi energi bagi KPU untuk berbenah untuk memperbaiki diri. Menurut Emrus, tantangan ke depan KPU harus lebih transparan dalam melakukan semua kegiatannya. Dia mengimbau agar rapat-rapat KPU bisa disaksikan dan diakses oleh masyarakat. Sehingga, dia melanjutkan, masyarakat bisa melihat dengan terbuka dan mengontrol.
Emrus juga menyarankan KPU agar berhati-hati dengan teknologi yang digunakan. Dia mengatakan, jangan sampai ada teknologi lain mengintervensi dan mengganggu sistem kereja KPU. "Proteksi teknologi harus mereka benahi supaya realiable,” katanya.