Rabu 13 Mar 2019 02:29 WIB

Debat Cawapres dan Undecided Voters

Debat Cawapres bisa menjadi cara merebut pemilih yang belum menentukan pilihan

Bayu Hermawan
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Bayu Hermawan

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bayu Hermawan*

Masa kampanye Pilpres 2019 mendekati akhir. Tersisa kurang lebih empat puluh hari lagi sebelum rakyat Indonesia masuk ke dalam bilik suara. Jelang hari pencoblosan, kedua paslon capres dan cawapres mempunyai satu tantangan berat.

Kedua capres-cawapres, serta tim sukses mereka, bukan sekadar menaikan dan menjaga elektabilitas semata, namun yang terpenting bagaimana meyakinkan orang-orang yang belum memutuskan dukungan atau undecided voters. Mereka harus menjaga agar undecided voters tidak menjadi seorang golput alias tidak menyalurkan hak suara mereka.

Mengapa hal ini menjadi tugas bersama peserta Pilpres 2019?, sebab hal ini terkait legitimasi demokrasi Indonesia. Bayangkan, jika pada akhir nanti, misalkan pasangan  A menang dengan perolehan suara 50 persen dari pasangan B yang memperoleh suara 40 persen, sementara angka golput sebesar 30 persen. Hal itu sama saja hampir separuh lebih rakyat Indonesia sebenarnya tidak memilih, dan tidak percaya dengan pemenang. Artinya legitimasi pemerintah baru diragukan.

Saya tertarik dengan hasil kajian dari Departemen Politik dan Pemerintah (DPP) Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM), yang dirilis pada akhir Februari lalu. Berdasarkan Data Laboratorium Big Data Analytics DPP Fisipol UGM, potensi golput masih tinggi. Yang menarik adalah, percakapan soal isu golput paling banyak di pulau Jawa. Dari hasil analisa tersebut juga diketahui masih banyaknya percakapan untuk mengampanyekan golput.

Kajian ini bisa menjadi masukan penting bagi kedua kubu capres-cawapres,. Dari pada saling menyerang dengan kampanye-kampanye negatif, ada baiknya mereka bekerja sama 'menolong' orang-orang yang masih galau tersebut. Pada dasarnya, undecided voters tidak seluruhnya bisa diklaim sebagai orang-orang yang apriori terhadap politik secara umum, dan pilpres secara khusus.

Namun, di sana ada orang-orang yang masih menunggu apakah ada pasangan capres dan cawapres yang sesuai dengan kriteria ideal mereka. Atau melihat ada program-program yang dianggap baik untuk didukung. Artinya mereka tergolong pemilih cerdas, yang tidak hanya termakan isu-isu atau kampanye negatif, yang saat ini ramai menghiasi media massa dan media sosial.

Mendekati kelompok pemilih ini, kedua paslon juga harus cerdas. Sebenarnya, debat pilpres adalah momentum utama para calon untuk merebut hati kelompok ini. Namun dari dua debat pilpres, nampaknya hal itu belum banyak berarti. Kesempatan ketiga untuk merebut hati undecided voters akan kembali datang pada 17 April mendatang, atau dalam debat ketiga yang mempertemukan para cawapres.

Menurut saya, debat ketiga ini bisa menjadi kunci. Sebab, publik sudah tidak asing dengan Jokowi dan Prabowo, yang telah menjadi rival dalam perhelatan pilpres sebelumnya. Sementara untuk KH Maruf Amin dan Sandiaga Uno, ini merupakan pertama kali mereka tampil solo dalam debat pilpres. Gagasan kedua cawapres akan ditunggu oleh publik, khususnya mereka yang belum menentukan pilihan. Apakah dua cawapres jika nanti terpilih hanya menjadi pendamping semata, atau menjadi sosok yang menjadi mitra kerja presiden terpilih.

Debat ketiga bukan tidak mungkin berpengaruh pada elektabilitas dua pasangan capres-cawapres. Bagi kubu TKN, mereka harus benar-benar mempersiapkan Kiai Maruf untuk bisa tampil maksimal di debat mendatang. Seperti kita tahu, penampilan Kiai Maruf pada debat pertama dianggap kurang maksimal, Kiai Maruf seolah hanya menjadi 'pajangan' semata. Dalam debat mendatang, Kiai Maruf harus bisa mengubah penilaian itu. Kiai Maruf harus tampil sebagai sosok yang mampu menunjang kerja seorang presiden, bukan hanya pendamping semata.

Jika tampil baik, bukan tidak mungkin suara para undecided voters bisa direbut. Tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu alasan masih banyaknya  orang yang belum menentukan pilihan lantaran kurang sesuai dengan pasangan calon yang ada. Mungkin saja ada yang mendukung Jokowi, namun belum bisa memutuskan mendukung Kiai Maruf. Jika Kiai Maruf tampil apik, maka suara-suara tersebut akan bulat mendukung Jokowi.

Sementara untuk kubu BPN, penampilan Sandiaga juga akan diuji. Sandi memang punya pengalaman di debat kandidat, namun kali ini dia akan berdebat di level yang berbeda. Sandiaga harus bisa membuktikan diri menjadi penantang yang baik. Kritiknya harus disajikan dalam data-data yang lengkap,  tidak sekadar ngomong "tempe setipis kartu ATM" saja. Sandi juga harus memberikan solusi-solusi baru dan terbaik atas masalah-masalah yang didebatkan, yakni terkait pendidikan, ketenagakerjaan, kesehatan, sosial dan budaya.

Merebut hati undecided voters memang tidak mudah. Meski saat ini kedua kubu gencar mengunakan strategi kampanye door to door atau 'menyerbu' pelosok, namun hal itu tidak menjadi jaminan mereka bisa mendapat suara undecided voters. Kunci utama adalah di capres dan cawapres sendiri, bagaimana mereka menyampaikan program dan gagasan dengan sangat meyakinkan, tanpa perlu kehebohan dengan saling sindir atau kampanye-kampanye negatif lainnya.

*) Penulis adalah redaktur republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement