Jumat 08 Mar 2019 06:11 WIB

Bangun Indonesia dengan Membaca

Membaca sejatinya adalah memberi makanan otak kita.

Perpustakaan Masjid Istiqlal. Pengunjung membaca buku di Perpustakaan Masjid Istiqlal, Jakarta, Senin (4/3).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Perpustakaan Masjid Istiqlal. Pengunjung membaca buku di Perpustakaan Masjid Istiqlal, Jakarta, Senin (4/3).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Salamun*

 Muhammad SAW dibangunkan dari tidur dan merasakan dirinya didekap oleh kehadiran ilahiah yang dahsyat. Belakangan dia menceritakan pengalaman luar biasa ini dalam istilah-istilah khas Arab. Dia berkata bahwa satu malaikat menampakkan diri kepadanya dan memberinya sebuah perintah singkat: "Bacalah!" (iqra'!).

Seperti halnya nabi-nabi Ibrani yang sering merasa berat mengucapkan Firman Tuhan, Muhammad menolak dan memprotes, "Aku bukan seorang pembaca!" Demikian dikisahkan secara apik oleh Karen Armstrong dalam bukunya Sejarah Tuhan.

Armstrong lebih lanjut menulis kita mengetahui lebih banyak tentang Muhammad dibanding para pendiri agama besar lainnya, dan di dalam Al-Quran, yang waktu turun berbagai surah atau bagiannya dapat diketahui dengan tingkat akurasi yang masuk akal, kita dapat melihat bagaimana visi Muhammad berevolusi secara perlahan dan menjadi semakin universal dalam cakupannya.

Muhammad adalah seorang jenius yang sangat luar biasa (Karen Armstrong, 2018:215). Ungkapan ini barangkali akan menjadi seolah bertentangan dengan sebutan Nabi yang ummiy (keibuan).

Ummiy hendaknya tidak dimaknai sebagai buta huruf dan bodoh, akan tetapi lebih dapat dipahami sebagai suatu keadaan kejernihan berfikir yang masih kanak-kanak (keibuan), original tidak terkontaminasi dengan pemikiran sesat, yang dalam istilah Rocky Gerung disebut sebagai akal sehat.

Demikianlah adanya kehadiran seluruh Nabi dan Rasul sejatinya membawa misi pencerahan untuk menyadarkan hakikat kemanusiaan kita sebagai hamba Allah Tuhan Yang Maha Esa agar hidup sesuai dengan hakikat penciptaannya, menjadi hamba yang beriman, taat dan shalih.

Untuk itu kita akan dapat mengenal Tuhan dan menjalankan perintah-perintah-Nya tentulah diantaranya dengan senantiasa membaca ayat-ayat Tuhan baik yang tekstual maupun yang kontekstual (alam semesta beserta seluruh fenomenanya). Semakin kuat dan tajam seseorang membaca ayat-ayat atau tanda-tanda kekuasaan Allah tentu semakin kuat juga keimanannya.

Pertanyaan kemudian ialah seberapa sungguh-sungguh kita dalam membaca? Silakan ditulis dan dihitung sendiri, sejak bangun tidur hingga tidur kembali berapa waktu yang kita guna-manfaatkan untuk membaca, kitab suci, buku berkualitas yang bermanfaat, hingga aneka bacaan yang tertuang di media sosial atau berbagai aplikasi pesan.

Mengapa membaca buku berkualitas yang bermanfaat menjadi penting? Ya tentu saja karena membaca sejatinya adalah memberi makanan otak kita. Dalam ‘The Art Of Communicating Bridging Time, Space, Miracles, And Belief ‘, Thich Nhat Hanh menulis bahwa Kita cenderung berpikir nutrisi hanya ada pada apa yang kita masukkan ke dalam mulut kita, tetapi apa yang kita konsumsi dengan mata, telinga, lidah dan tubuh kita juga merupakan makanan.

Asupan makanan berupa bacaan akan menjadi bank data intuisi yang mempengaruhi pikiran dan tindakan kita dalam berbagai kapasitas termasuk para pemikir (intelektual), pebisnis dan pengambil kebijakan (pemimpin) ( baca: 'The Intuitive Mind’ oleh Eugene Sadler-Smith).

Kita bisa bayangkan apa yang kemudian terjadi jika yang  dimakan tiap hari berupa ujaran kebencian, kebohongan, fitnah, caci maki, hoaks dan semacamnya yang lebih dominan membombardir alam pikiran kita yang masuk baik disengaja atau tidak melalui media sosial.

Membaca Satu Halaman Per detik

Dalam sebuah percakapan dialog grup komunitas alumni Bacakilat seorang peserta bertanya kepada penulis buku 'Bacakilat 3.0 Hacks The Way You Read', Master Agus Setiawan Founder sistem Bacakilat tentang bisakah sistem ini diterapkan untuk membaca koran?.

Meskipun tentu saja bisa, sebaiknya tidak diterapkan untuk baca koran karena umumnya mengandung banyak “sampah”, dan input (yang dibacakilat) langsung masuk dan mengendap di dalam pikiran bawah sadar.

Melalui sistem bacakilat, kita akan dibimbing untuk bertumbuh menjadi pembelajar sehingga memiliki kemampuan membaca buku satu halaman perdetik dengan pemahaman tinggi mencapai 100% tujuan membaca.

Yap, jika dengan pikiran sadar tentu kita akan katakan tidak masuk akal?? Melalui sistem ini pikiran bawah sadar kita akan dilatih untuk belajar, tepatnya dilibatkan secara optimal dalam proses belajar dan membaca.

George A. Miller seorang Cognitive Psychologist dari Princeton University sebagaimana dikutip Agus Setiawan bahwa pikiran sadar manusia hanya memberikan peran 10% dalam kehidupan kita, sisanya 90 % dikendalikan oleh pikiran bawah sadar.

*) Dosen STIT Pringsewu, Mahasiswa Program Doktor UIN Raden Intan Lampung dan Alumni Bacakilat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement