REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Sekretaris Jenderal untuk Komunitas Sosial Budaya ASEAN, Kung Phoak mengatakan pernikahan anak mengancam kehidupan dan masa depan perempuan di seluruh dunia.
"Kita harus ikut terlibat dalam mengakhiri praktik-praktik berbahaya ini, yaitu tentang pernikahan anak, pernikahan dini, dan pernikahan paksa atau CEFM," ujar Phoak dalam forum diskusi tentang pernikahan anak, pernikahan dini, dan pernikahan paksa di Gedung Sekretariat ASEAN, Jakarta, Rabu (6/3).
Phoak mengatakan pernikahan anak, pernikahan dini, dan pernikahan paksa atau CEFM, dan kehamilan remaja adalah fenomena global yang meluas. Saat ini di tingkat global, tiap tahun diperkirakan lebih dari 14 juta anak perempuan di seluruh dunia dipaksa untuk menikah. Sementara itu, lebih dari 700 juta wanita diperkirakan menjalani pernikahan dini.
Tingkat kelaziman pernikahan anak dan kehamilan remaja di Asia Tenggara masih tinggi. Di kawasan itu satu dari lima anak perempuan menikah sebelum berusia 18 tahun.
Angka-angka ini menunjukkan meluasnya praktik yang merugikan itu. "CEFM adalah tantangan yang menarik di ASEAN dan itu harus segera diatasi," kata dia.
Di Asia Tenggara, menurut data yang dihimpun Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa, rata-rata prevalensi pernikahan anak masih tinggi. Negara tertinggi pernikahan di bawah umur adalah 35,4 persen di Laos. Indonesia tercatat 17 persen dan Vietnam 11 persen.