Selasa 05 Mar 2019 16:46 WIB

Polri Imbau Waspadai Peredaran Uang Palsu di Tahun Politik

Penyebaran uang palsu terbanyak ada di daerah-daerah.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Indira Rezkisari
Humas Polri. Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo (tengah) menyimak paparan saat berkunjung ke Kantor Republika, Jakarta, Selasa (5/3).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Humas Polri. Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo (tengah) menyimak paparan saat berkunjung ke Kantor Republika, Jakarta, Selasa (5/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kepolisian RI mengimbau masyarakat agar mewaspadai penyebaran uang palsu menjelang Pemilu 2019. Kepolisian memprediksi peningkatan penyebaran uang palsu di pentas kontestasi politik nasional. Terutama di pemilu legislatif (pileg).

Karopenmas Mabes Polri, Brigjen Pol Dedi Prasetyo mengatakan, kerawanan terentan di tahun politik saat ini sebetulnya ada di pileg. Terkait uang palsu, tak jarang kampanye di daerah dijadikan ajang penyebaran uang palsu lantaran dianggap efektif bagi para pengecer.

Baca Juga

“Penyebaran terbanyak uang palsu itu di daerah-daerah. Di desa-desa,” kata Dedi saat berkunjung ke Republika di Jakarta Selatan (Jaksel), Selasa (5/3). Dedi punya pengalaman menyibak peredaran uang palsu saat bertugas di Jawa Timur (Jatim). Kata dia, di level pemilihan kepala desa, sekalipun peredaran uang palsu bukan perkara baru.

“Biasanya, kalau pilkades (pemilihan kepala desa), itu ada yang drop (sengaja menyalurkan),” ujar dia. Bukan berarti para kontestan yang melakukan penyebaran uang palsu. Namun, motifnya, kata Dedi bisa lewat aksi belanja para pengedar di perniagaan-perniagaan konvensional.

“Biasanya bisa tiga banding satu. Tiga lembar uang, ada satu yang palsu. Atau empat banding satu,” ujar dia.

Mabes Polri mencatat, di luar tahun pemilu sebetulnya penyebaran uang palsu di Indonesia terbilang fluktuatif. Kata Dedi, menengok catatan kepolisian dalam tiga tahun terakhir, peredaran uang palsu naik turun.

 

Pada 2016, kepolisian mencatat angka tinggi dalam peredaran uang palsu yang mencapai nominal sita, sekitar Rp 21 miliar. Setahun berikutnya, pada 2017, uang palsu yang berhasil disita, menurun sebesar Rp 4 miliar.

Namun pada 2018, penyitaan uang palsu kembali meningkat mencapai Rp 14 miliar. Tahun ini, sampai pekan pertama Maret 2019, kepolisian berhasil menyita uang palsu senilai Rp 1,9 miliar.

Angka tersebut, Dedi yakini akan meningkat. Apalagi kata Dedi, penyebaran uang palsu, sudah menjadi semacam sindikat dengan produksi kelas pabrikan. “Proses pembuatannya pun sudah semakin canggih,” ujar dia.

Selain uang palsu, Mabes Polri pun mengingatkan potensi kerawanan di Pemilu 2019. Kata Dedi, Mabes Polri menganggap kontestasi antar pendukung dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, memang bakal keras.

Tetapi, menurut dia, potensi kerawanan tertinggi ada di persaingan antar caleg. Terutama persaingan para calon penghuni DPR RI yang berasal dari daerah-daerah tingkat satu dan dua.

“Kapolri sudah mengingatkan di internal (kepolisian), bahwa pileg itu sangat rawan persaingannya,” sambung Dedi. Kerawanan dalam Pileg 2019, bahkan kata Dedi bisa memicu kerusuhan.

“Kalau pilpres ini, kita melihat yang tegang hanya di medsos dan di Jakarta saja. Di daerah-daerah, masih relatif tenang. Di pileg yang sangat rawan sekali. Bisa berpotensi konflik,” kata Dedi menambahkan.

Pekan lalu, Dedi pun menyampaikan yang sama terkait kerawanan Pemilu 2019. Kata dia, Mabes Polri menginstruksikan kepada 10 Kepolisian Daerah (Kapolda) yang dianggap masuk dalam peta merah kerawanan pemilu. Sepuluh Polda tersebut, yakni Papua, dan Papua Barat, Polda Maluku Utara, dan Gorontalo, serta Sulawesi Tengah (Sulteng), dan Polda Nusa Tenggara Timur (NTT). Ke wilayah barat, Polda Aceh, dan Polda Kepulauan Riau, serta Polda Bengkulu. Di ibu kota, Polda Metro Jaya, dan Polda Jabar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement