Selasa 05 Mar 2019 08:35 WIB

Mari Hargai Keputusan NU dan Hentikan Polemik Istilah Kafir

PBNU memutuskan untuk tidak menggunakan istilah kafir bagi WNI non-Muslim.

Munas NU. Pembukaan Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (NU) yang dihadiri oleh Presiden RI Joko Widodo dan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj, di Pompes Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, Rabu (27/2).
Foto: Republika/Edi Yusuf
Munas NU. Pembukaan Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (NU) yang dihadiri oleh Presiden RI Joko Widodo dan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj, di Pompes Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, Rabu (27/2).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Andrian Saputra, Muhyiddin, Mabruroh, Antara

Keputusan PBNU yang tidak menggunakan istilah kafir bagi WNI non-Muslim menuai pro dan kontra di masyarakat. Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Zainut Tauhid Saadi pun meminta umat Islam tak berlebihan dalam menanggapi hasil Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar PBNU itu.

Baca Juga

Dia mengajak masyarakat menghargai putusan yang merupakan ijtihad kolektif NU. Putusan itu, kata Zainut, pasti memiliki alasan, dalil dan pendapat yang dapat dipertanggungjawabkan

"MUI mengimbau kepada umat Islam untuk tidak terjebak pada polemik yang berlebihan atas putusan Munas NU terkait dengan penyebutan orang yang beragama selain Islam dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara dengan sebutan kafir," kata Zainut kepada wartawan di Jakarta, Senin (4/3).

Ia juga mengimbau semua pihak untuk mengembangkan sikap berbaik sangka, pemahaman positif dan sikap toleransi terhadap berbagai hasil ijtihad kolektif masyarakat. Sepanjang hal tersebut masih dalam koridor wilayah perbedaan (ikhtilaf) dari cabang agama (furu'iyyah) dan bukan masalah pokok dalam agama (ushuluddin).

Menurut dia, perbedaan pendapat di kalangan umat Islam merupakan sebuah keniscayaan yang harus diterima oleh umat sebagai konsekuensi dari pranata ijtihad dalam ajaran Islam. Hal tersebut tidak dilarang bahkan sangat dianjurkan.

"Untuk hal tersebut, MUI mengajak kepada semua pihak untuk terus menjaga persaudaraan ke-Islaman (ukhuwah Islamiyah) dan persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathaniyyah) demi mewujudkan Islam yang rahmatan lil 'alamin," katanya.

Ketua Umum Pengurus Besar Al Washliyah, KH Yusnar Yusuf menilai hasil Bahtsul Masail NU tentang penggunaan istilah kafir terhadap non-Muslim tak perlu diperdebatkan lagi. Menurutnya dalam aspek kebangsaan, tak wajar seorang Muslim menggunakan kata kafir dalam penyebutan terhadap non-Muslim. Menurut Yusnar, hal tersebut pun menurutnya tak dilakukan oleh umat Muslim Indonesia selama ini.

“Kita bertemu siapa saja, kawan yang non-Muslim misalnya. Apa lalu kita bilang dia kafir? Kan tidak. Jadi tak perlu diperdebatkan, kita juga tak pernah melakukan itu,” kata Yusnar kepada Republika.co.id Ahad (3/3).

Kendati demikian, menurut Yusnar, tak berarti juga menghilangkan kata kafir. Dalam konteks keagamaan, kata kafir sudah boleh saja digunakan semisal dalam pengajian untuk menjelaskan orang-orang yang ingkar kepada Allah. Terlebih, jelas dia dalam Alquran, kata kafir menjadi pembeda untuk orang-ornag yang beriman dengan orang-orang yang ingkar.

Ya ayyuhal kafirun, itu kan sebuah pertanda sebagai sebuah pembeda antara orang yang beriman dengan orang kufur. Dalam pengajian boleh saja, tak masalah. Mereka pun menyebut kita kafir karena ingkar terhadap nabi dan Tuhannya, tak masalah,” katanya.

Ketua PBNU Sulton Fathoni menerangkan, pembahasan tentang istilah kafir sebenarnya merupakan kelanjutan dari Muktamar NU pada 1930 di Pekalongan Jawa Tengah. Mahtsul Masail NU menghasilkan keputusan untuk tidak menyebut kafir bagi seorang non-Muslim di Indonesia.

"Pembahasan terma kafir dan non-Muslim ini sebagai kelanjutan dari kajian tentang terma kafir yang sebelumnya sudah dibahas para kiai pada saat Muktamar NU tahun 1930," ujar Sulton yang disampaikan melalui pesan tertulis kepada Republika.co.id, Senin (4/3).

Perbedaannya, dia mengatakan, pada Muktamar NU 1930 para kiai membahas terma kafir dalam perspektif teologis. Sedangkan pada Munas Alim Ulama dan Konbes Nahdlatul Ulama 2019 di Citangkolo, para kiai menuntaskan pembahasan tentang 'kafir' dalam perspektif kebangsaan dan ke-Indonesia-an.

"Penuntasan pembahasan terma kafir perspektif teologis dan ke-Indonesia-an ini tentu melegakan. Bayangkan, pembahasan terma kafir yang dimulai sejak 1930 baru tuntas pada 2019 sehingga setidaknya ada rentang waktu selama 89 tahun," ucap Sulton.

Karena itu, ia mengatakan, pertanyaan yang menggelitik adalah, sejauh mana tingkat kerumitan terma ‘kafir’ hingga para kiai baru berhasil menuntaskannya?  Bagi para kiai, jelas Sulton, sebenarnya cukup mudah membahas terma kafir atau non-Muslim.

Namun, tingkat kesulitannya ternyata bukan pada proses pembahasan kedua istilah tersebut. Kesulitan justru terjadi pada proses penemuan kasus kafir dalam ranah kebangsaan dan ke-Indonesia-an.

"Terma kafir yang pada awalnya bersifat teologis kemudian ditemukan menjadi problem saat berada di area publik, yaitu ketika masyarakat berkumpul dalam sebuah entitas bangsa dan begara yaitu Indonesia," kata Sulton.

Karena itu, dia mengatakan, keputusan para kiai di Citangkolo tentang 'kafir' tersebut merupakan upaya menyelesaikan problem kebangsaan dan kenegaraan yang muncul karena realitas sosial masyarakat yang masih terganggu saat akan beragama dengan bebas, tenang, dan damai. "Para kiai berkumpul itu untuk memastikan bahwa NU hadir di setiap problem kemasyarakatan untuk memberikan solusi penyelesaiannya perspektif ke-Islam-an," jelas Sulton.

Respons lembaga agama non-Islam

Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) menyambut gembira rekomendasi penghapusan istilah kafir untuk WNI non-Muslim. “Kita menyambut gembira usulan seperti ini, kita sangat mengapresiasi,” kata Sekretaris Umum PGI, Pendeta Gomar Gultom dalam sambungan telepon kepada Republika.co.id di Jakarta, Senin (4/3).

Menurut Gomar, dengan menghilangkan atau tidak lagi menggunakan kata kafir kepada masyarakat Indonesia non-Muslim akan berdampak. Karena bagaimanapun mengubah istilah kafir tersebut secara sosiologis politis menimbulkan dampak diskriminatif dalam kehidupan berbangsa.

“Tapi di sisi lain juga merupakan kekerasan teologis karena cenderung mendegasikan umat yang lain dalam kehidupan berbangsa dan negara, maka semua umat harus diperlakukan sebagai sesama manusia dan kita menyambut gembira usulan seperti ini,” paparnya.

Ketua Dewan Kerukunan Agama Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), Suhadi Sendjaja menanggapi positif keputusan Nahdlatul Ulama (NU) soal penghapusan sebutan kafir bagi warga negara Indonesia yang beragama non-Muslim. Namun selama ini, umat Buddha tidak pernah mempermasalahkan sebutan kafir tersebut.

“Saya menilainya dari segi positifnya bahwa ini (menghilangkan sebutan kafir) adalah bagaimana (agar) bisa semakin (membuat) bangsa ini rukun,” kata Suhadi dalam sambungan telepon dengan Republika.co.id, Senin (4/3).

Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) juga mengapresiasi usulan NU perihal penghapusan istilah kafir.  Menurut Ketua Umum Matakin, Uung Sendana L Linggaraja, selama ini penggunaan istilah tersebut sering kali dikonotasikan negatif.

"Menurut saya itu suatu sikap yang luar biasa karena menunjukkan bahwa NU ingin menciptakan suasana yang kondusif dan suasana persaudaraan dalam kebangsaan Indonesia yang lebih baik," kata Uung dalam sambungan telepon, di Jakarta, Senin (4/3).

Uung mengatakan, selama ini teman-teman Muslimnya telah menjelaskan arti dari kata kafir. Kendati demikian, ungkap Uung, tetap saja karena terlanjur sering dikonotasikan dengan kalimat negatif sehingga menimbulkan rasa tidak nyaman bagi siapapun yang mendengarnya.

“Karena selama ini penggunaannya dalam arti konotasi negatif sehingga dirasakan agak kurang nyaman (mendengarnya),” kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement