REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Kerukunan Agama Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), Suhadi Sendjaja menanggapi positif keputusan Nahdlatul Ulama (NU) soal penghapusan sebutan kafir bagi warga negara Indonesia yang beragama non-Muslim. Namun selama ini, umat Buddha tidak pernah mempermasalahkan sebutan kafir tersebut.
“Saya menilainya dari segi positifnya bahwa ini (menghilangkan sebutan kafir) adalah bagaimana (agar) bisa semakin (membuat) bangsa ini rukun,” kata Suhadi dalam sambungan telepon dengan Republika.co.id, Senin (4/3).
Menurutnya, usulan tersebut tidak lahir begitu saja namun berdasarkan pemikiran kearifan dan kebijaksanaan. Sehingga kemudian para tokoh-tokoh NU dapat melahirkan keputusan besar tersebut.
“Ini merupakan hasil kesepakatan dari para tokoh-tokoh NU yang tentunya dasar pemikirannya untuk kepentingan lebih besar, kepentingan bangsa dan negara dan tentu saya kira arahnya itu supaya bangsa ini semakin rukun semakin bersatu,” kata Suhadi.
Suhadi menuturkan, selama ini hubungannya dengan umat Islam selalu baik. Begitupun dengan agama lain, kerukunan antarumat beragama selalu dijaga dan dijalankan umat Buddha Indonesia.
Karena faktanya lanjut Suhadi, Indonesia merupakan negara dengan beragam suku, agama, dan budaya. Sehingga tidak dapat dipungkiri apabila perbedaan tersebut akan selalu ada maka saling menghormati merupakan cara untuk menjaga kerukunan tersebut.
“Tentu kita memahami bahwa hidup adalah berdampingan dan bangsa ini terdiri dari suku, agama, dan budaya yang beragam tapi ingat, kita juga kan satu keluraga besar Indonesia,” ungkapnya.
Karena itu, sekali lagi Dewan Pendeta Buddha ini mengaku sangat mendukung usulan NU tersebut. Kerena usulan NU menurutnya tertuju agar warga negara Indonesia yang berbeda paham agamanya dapat hidup berdampingan dengan rukun.
“NU sebagai komunitas Muslim yang besar saya kira berpemikiran luas supaya bagaimana semua ini (masyarakat Indonesia) bisa hidup berdampingan, mengarusutamakan podoasih dari agamanya masing-masing supaya betul-betul bisa memberikan landasan hidup yang tepat kepada umatnya masing-masing,” kata Suhadi.
Sebelumnya dalam pidato penutupan Munas dan Konbes NU, Ketua Umum PBNU Kiai Said Aqil Siradj menyebutkan beberapa hasil Bahtsul Masail salah satunya perihal istilah kafir. Hasil Bahtsul Masail menyebutkan bahwa istilah kafir tidak dikenal dalam sistem kewarganegaraan pada suatu bangsa.
Sebab itulah kata Said, istilah kafir agar tidak lagi digunakan untuk menyebut mereka yang non-Muslim di Indonesia. Karena setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama di mata Konstitusi.