REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (NU) di Ponpes Miftahul Huda Al Azhar di Banjar, Jawa Barat, menghasilkan sejumlah rekomendasi salah satunya, adalah melarang penyebutan istilah kafir kepada non-Muslim. Keputusan ini dinilai sebagai upaya mencegah potensi konflik dan politisasi agama.
Menjelang pemilihan umum yang akan datang, pengamat sosiologi politik dari Fisipol UGM, Arie Sudjito, menilai rekomendasi NU terkait larangan menyebut kafir bagi non-Muslim lebih merupakan antisipasi dalam rangka mencegah potensi konflik dan kekerasan yang mengaitkan dengan identitas. Karena dalam suasana pemilu saat ini, menurutnya, ketegangan itu berpotensi muncul dengan penyebutan stigma pengkafiran.
"Saya menilai putusan Munas NU di Jember itu bertujuan untuk mencegah potensi konflik menjelang pemilu, supaya tidak menggunakan stigmatisasi pengkafiran orang dan mencegah politisasi agama," kata Arie, saat dihubungi Republika.co.id, Sabtu (2/3).
Ia menilai hal itu positif agar jangan sampai ada ketegangan di era politik seperti saat ini, yang muncul dari beberapa sumber. Salah satunya, kata dia, untuk menghindari terjadinya politisasi agama.
Arie juga menekankan agar rekomendasi itu tidak dikaitkan dengan keuntungan bagi partai politik yang memiliki anggota atau calon legislatif non-Muslim saat pemilu.
"Saya kira posisi NU dalam posisi khittah, tidak akan bertendensi seperti itu dan bukan itu tujuan NU dalam Munas di Jember," lanjutnya.
Ia menegaskan bahwa rekomendasi itu harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah konflik dan bukan menguntungkan pihak manapun. Akan tetapi, menurutnya, hal itu juga untuk mencegah umat Islam ikut berkonflik antar sesama Muslim.