REPUBLIKA.CO.ID, oleh Kiki Sakinah, Andrian Saputra, Antara
Bahtsul Masail Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (Munas-Konbes) 2019 yang baru saja rampung dilaksanakan di Banjar, Jawa Barat menetapkan beberapa keputusan penting. Salah satunya adalah rekomendasi untuk tidak menggunakan istilah kafir bagi warga negara Indonesia (WNI) non-Muslim.
Wakil Sekjen PBNU, Masduki Baidlowi, mengatakan dari sudut pandang keagamaan, tidak ada mayoritas dan minoritas dalam agama. Menurutnya, semua manusia sama posisinya di depan hukum. Karena itu, ia mengatakan tidak tepat untuk menyebut saudara sebangsa yang berbeda agama sebagai kafir.
"Saudara kita menjadi tidak nyaman perasaannya. Anjuran agama tidak mengajarkan pada kita untuk membuat saudara sebangsa tersinggung," kata Masduki, melalui keterangan rilis yang diterima Republika.co.id, Sabtu (2/3).
Ia mengatakan, latar belakang dari keputusan Bahtsul Masail Munas-Konbes 2019, adalah mengedepankan kembali semangat keputusan Muktamar NU 1984. Hal ini menyikapi kondisi nasional terakhir, terutama terkait dengan elemen-elemen bangsa seperti halnya rasa persaudaraan yang mulai rusak, karena banyak mengedepankan persekusi, hoaks yang tidak sehat melalui media sosial.
Dalam hal ini, ia mengungkapkan tidak ada yang baru dari keputusan NU. Sejak Muktamar 1984 di Situbondo, NU sudah membuat keputusan bahwa persaudaraan di dalam negara bangsa (nation states) yang perlu terus dirajut ada tiga. Pertama, persaudaraan seiman (sesama muslim). Kedua, persaudaraan sesama bangsa (ukhuwah wathoniyah). Ketiga, persaudaraan sesama manusia (ukhuwah insaniyah).
"Apa yg diputuskan dalam Munas Alim Ulama di Banjar, merupakan elaborasi sekaligus konsistensi dari item kedua (persaudaraan sebangsa)," ujarnya.
Baidlowi menuturkan, dalam Alqur'an ditegaskan bahwa manusia diciptakan dengan berbagai suku di muka bumi ini agar satu sama yang lain saling mengenal, dan saling bersilaturrahmi untuk menciptakan kedamaian. Menurutnya, apa yang diputuskan di Doha, Qatar, antara Grand Syekh Al Azhar dan Paus Fransiscus Asisi dari Roma satu bulan lalu ingin menegaskan persaudaraan sesama manusia untuk kedamaian dengan latar belakang agama.
Ia mengatakan, latar belakang penandatanganan di Doha ialah menyikapi kondisi dunia yang makin tidak kondusif untuk perdamaian antarsesama manusia. "Perdamaian dunia tak bisa diselesaikan dengan mengedepanakan politik belaka, tetapi harus mengedepankan unsur agama," lanjutnya.
Baidlowi menegaskan, bahwa energi serta ruh agama tentang perdamaian antar sesama manusia harus dikedepankan. Hal itu karena persekusi serta energi negatif atas nama agama yang didominasi oleh kalangan yang berfaham tekstualis terjadi di mana-mana. Karena itulah, ia mengatakan bahwa keputusan di Doha sejalan dengan keputusan Muktamar NU 1984.
"Negara bangsa yang sejak 1945 didirikan bersama-sama (negeri perjanjian/mu’ahadah) mesti dijaga bersama-sama. Ini sudah menjadi keputusan Muhammadiyah dan NU, merujuk pada Piagam Madinah yang didirikan oleh Rasulullah setelah beliau hijrah," tambahnya.
"Kata kafir menyakiti sebagian kelompok non-Muslim yang dianggap mengandung unsur kekerasan teologis." Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU KH Abdul Moqsith Ghazali.
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj menegaskan, istilah kafir dan non-Muslim sebagai konteks yang berbeda merujuk pada zaman Rasulullah Muhammad SAW. Said menerangkan hal ini dalam pidato penutupan Munas-Konbes NU 2019 di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Banjar, Jumat (1/3).
"Dalam sistem kewarganegaraan pada suatu negara bangsa tidak dikenal istilah kafir. Setiap warga negara memiliki kedudukan dan hak yang sama di mata konstitusi," kata Said.
Said meneragkan, pada masa awal dakwah Islam, Rasulullah SAW menyebut kafir bagi para penyembah berhala, klenik dan semacamnya. Setelah periode hijrah dari Mekkah ke Madinah, istilah kafir sering disebut sebagai non-Muslim.
Istilah itu kerap digunakan dalam konteks ketatanegaraan di Madinah sehingga setiap warganya memiliki hak yang sama baik itu Muslim maupun non-Muslim. Said mengatakan, penegasan kafir dan non-Muslim itu dibahas dalam Komisi Bahtsul Masail Diniyah Maudluiyah yang fokus pada penjelasan tematik.
Komisi itu juga membahas soal pandangan Islam dalam menyikapi bentuk negara bangsa dan produk perundangan atau kebijakan negara yang dihasilkan oleh proses politik modern. Forum itu merupakan bagian dari kegiatan Munas-Konbes NU 2019.
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU KH Abdul Moqsith Ghazali mengatakan, Pancasila sebagai dasar negara berhasil menyatukan rakyat Indonesia yang plural, baik dari sudut etnis dan suku maupun agama dan budaya. Di bawah payung Pancasila, seluruh warga negara adalah setara dengan yang satu tak lebih unggul dari yang lain berdasarkan suku, etnis bahkan agama.
Hal itu selaras dengan yang pernah dilakukan Nabi Muhammad dengan membuat Piagam Madinah untuk menyatukan seluruh penduduk Madinah. Piagam Madinah itu menegaskan bahwa seluruh penduduk Madinah adalah satu kesatuan bangsa atau umat yang berdaulat di hadapan bangsa/umat lainnya tanpa diskriminasi.
Moqsith mengatakan kata kafir sering disebutkan oleh sekelompok orang untuk melabeli kelompok atau individu yang bertentangan dengan ajaran yang mereka yakini, kepada non-Muslim, bahkan terhadap sesama Muslim sendiri. Bahtsul Masail Maudluiyah pun kemudian memutuskan tidak menggunakan kata kafir bagi non-Muslim di Indonesia.
"Kata kafir menyakiti sebagian kelompok non-Muslim yang dianggap mengandung unsur kekerasan teologis," katanya.
Ia mengatakan, para kiai menyepakati tidak menggunakan kata kafir, tetapi menggunakan istilah muwathinun, yaitu warga negara. Menurut dia, hal demikian menunjukkan kesetaraan status Muslim dan Non-Muslim di dalam sebuah negara.
"Dengan begitu, maka status mereka setara dengan warga negara yang lain," katanya.
[video] Mengapa Anak Muda Jarang Ditemui di Masjid Cina