REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, mengatakan, ada beberapa faktor yang menyebabkan persoalan KTP-el bagi warga negara asing (WNA) menjadi kontroversi saat ini. Salah satunya, yakni adanya disparitas informasi antara pemahaman publik dengan peraturan yang ada.
"Disparitas atau kesenjangan informasi antara apa yang dipahami oleh publik dengan ketentuan atau pengaturan yang ada," ujar Titi pada diskusi di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (2/3).
Menurutnya, disparitas itu bisa diakibatkan karena isu tersebut memang bukan isu yang familiar di masyarakat. Sehingga, informasi yang beredar terkait kepemilikan KTP-el oleh WNA terbatas pada pihak-pihak tertentu saja.
Faktor lain, kata Titi, adalah soal pemahaman awam publik saat ini. Ia menyebutkan, publik saat ini secara sederhana memaknai KTP-el sebagai bentuk identitas sebagai warga negara Indonesia (WNI) dan bukan untuk WNA.
Ia menilai, kompetisi Pemilu 2019 yang sangat kompetitif bagi peserta pemilu, baik untuk pileg maupun pilpres juga mejadi faktor lainnya. Pilpres, kata dia, hanya ada dua pasangan calon, sehingga pertaruhannya soal suara pada 17 April dan tidak ada putaran kedua.
"Sedangkan Pileg, parpol berhadapan dengan PT empat persen. Sehingga setiap suara sangat berharga untuk menentukan nasib peserta pemilu," ujarnya.
Kemudian, ada pula faktor di mana KTP-el bertransformasi dari syarat administrasi kependudukan menjadi prasyarat mengakses hak konstitusional warga. Pada pasal 348 UU 7/2017, hanya pemilih ber-KTP-el yang bisa gunakan hak pilihnya pada hari pemungutan suara nanti. Baik yang terdaftar di DPT, DPTb, maupun yang tidak terdaftar.
"Akhirnya semua peserta pemilu berkepentinngan terhadap siapa yang menggunakan hak pilih di Pemilu 2019," jelasnya.
Selain itu, ia menyebutkan, isu ini memang populis untuk digoreng karena menyangkut isu yang sensasional dan mudah memprovokasi pemilih secara emosional. Terlebih, kasus tersebut menyangkut WNA yang berasal dari Cina.