Sabtu 02 Mar 2019 08:28 WIB

Risma Ingin Kelola SMA/SMK, Ini Kata Khofifah

Khofifah sarankan Risma meminta ke DPR atau mengajukan Judicial Review

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Esthi Maharani
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa beraktivitas di ruang kerjanya di kompleks Kantor Gubernur Jatim di Surabaya, Jawa Timur, Jumat (15/2/2019).
Foto: Antara/Moch Asim
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa beraktivitas di ruang kerjanya di kompleks Kantor Gubernur Jatim di Surabaya, Jawa Timur, Jumat (15/2/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini berkali-kali meminta agar pengelolaan SMA/SMK dilakukan pemerintah kota, bukan oleh pemerintah provinsi. Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, pengelolaan urusan pendidikan menengah (SMA/SMK/sederajat) dipegang pemerintah provinsi.

Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa pun menyikapi keinginan Risma tersebut. Menurutnya salah jika permintaan pengelolaan SMA/SMK/sederajat itu dilakukan ke gubernur, karena pembuat Undang-Undang adalah DPR. Maka, dia pun meminta Risma mempersilahkan memintanya ke DPR, atau melakukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi.

"Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 itu. Kewenangannya ada di DPR, kemudian sekarang kalau mau lakukan judicial review ke MK. Jadi bukan ke gubernur," kata Khofifah ditemui di Surabaya, Jumat (1/3).

Terkait pengelolaan SMA/SMK tersebut, Khofifah sudah menyiapkan program SPP gratis. Penggratisan SPP SMA dan SMK Negeri di Jatim akan mulai diterapkan pada Juli 2019. Namun demikian, gratis yang dimaksud Khofifah, bukan berarti siswa tidak memiliki kewajiban membayar uang SPP sama sekali.

Namun, kata dia, sifatnya seperti sumbangan yang diberikan dengan nominal sama kepada stiap SMA dan SMK Negeri di Jatim. Artinya, gratis secara full atau tidaknya, bergantung pada nominal SPP yang ditentukan di sekolah-sekolah dimaksud. Khofifah mencontohkan, misalnya sumbangan dari Pemprov senilai Rp 150 ribu, lalu, SPP di satu sekolah mencapai Rp 200 ribu, maka sisanya yang Rp 50 ribu menjadi tanggungan orang tua murid.

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini berkali-kali melayangkan permintaan kepada gubernur setempat, agar pengelolaan SMA/SMK di Kota Surabaya dilakukan Pemkot. Risma kemudian mengenang pengelolaan SMA/SMK ketika dilakukan Pemkot Surabaya, dimana bukan hanya SPP saja yang difasilitasi oleh pemerintah. Tapi ada beberapa poin lain yang juga diperhatikan dan ditanggung oleh Pemkot Surabaya.

"Seperti infrastruktur yang mewadahi, laboratorium, praktikum, hingga berbagai kompetensi gratis untuk mendukung pendidikan para pelajar.  Pendidikan itu bukan hanya (tentang) SPP aja. Kalau di Surabaya, listrik, air, internet sekolah itu kita bayar semua,” kata Risma, Jumat (1/3).

Wali kota perempuan pertama di Surabaya ini menuturkan, pendidikan menjadi salah satu faktor penting dalam stimulus penunjang perubahan masa depan. Melalui pendidikan, seseorang bisa mengubah kehidupan keluarganya menjadi lebih baik.

Namun, kata dia, untuk mewujudkan hal tersebut,  juga harus ditopang dengan sistem pengelolaan pendidikan yang baik pada suatu daerah. “Kalau dulu SMK itu kita kasih makan siang, uang praktikum, insentif untuk guru, bahkan seragam,” ujarnya.

Menurutnya, hal itu sebagai komitmen dari Pemkot Surabaya dalam mewujudkan sistem pengelolaan pendidikan yang komprehensif di Kota Pahlawan. Sehingga dulu pelajar SMA/MA/SMK di Surabaya hanya dituntut untuk fokus belajar, tanpa perlu memikirkan kebutuhan biaya untuk pendidikan mereka. Sebab, Pemkot Surabaya sudah memberikan berbagai fasilitas gratis untuk menunjang mereka agar hanya fokus mengenyam pendidikan.

“Karena di Surabaya itu semua kita bayar, pemeliharaan gedung itu semua kita. Misal lapangan rusak, tinggal dia (pihak sekolah) kirim surat saja. Jadi kebutuhan sekolah itu memang mahal,” kata Risma.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang mengatur pengelolaan SMA/SMK ini sebelumnya pernah di-judicial review oleh Bambang Soenarko dan kawan-kawan. Mereka warga Surabaya yang merasa hak konstitusional mereka terlanggar dengan adanya ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda tersebut.

Risma juga pernah menjadi saksi dalam persidangan judicial review tersebut. Namun, Mahkamah Konstitusi menolak judicial review tersebut dan memutuskan, pengelolaan urusan pendidikan menengah (SMA/SMK/sederajat) tetap dipegang pemerintah provinsi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement