REPUBLIKA.CO.ID, GORONTALO – Usaha pertanian khususnya komoditas jagung bukan tanpa tantangan. Di Provinsi Gorontalo, wilayah yang dikenal sebagai lumbung jagung itu justru pernah mengalami masa-masa kelam sebelum akhirnya para petani bisa meningkatkan produksi dan menjajaki ekspor seperti saat ini.
Gubernur Provinsi Gorontalo, Rulsi Habibie, menceritakan, masyarakat Gorontalo dari turun-temurun sudah hidup dengan jagung. Menurut Rusli, jagung sudah menjadi bahan pangan utama hingga komoditas yang diperdagangkan.
“Cerita soal jagung, orang tua kami sudah hidup dengan jagung. Tapi, ketika itu, harganya memang belum pasti,” kata Rusli kepada wartawan di Kabupaten Gorontalo Utara, Kamis (28/2).
Ia mengatakan, sebelum pemerintah menetapkan harga acuan jagung di tingkat petani sebesar Rp 3.150 per kilogram. Petani jagung di Gorontalo kerap merugi. Sebab, hasil produksi jagung hanya dihargai antara Rp 800 hingga Rp 1.500 per kilogram. Alhasil, lambat laun, para petani meninggalkan profesi petani jagung dan beralih ke profesi lain. Hal itu pula, yang menyebabkan Indonesia menjadi negara pengimpor jagung sebesar rata-rata Rp 3,6 juta ton per tahun.
Selain persoalan harga, Rusli mengatakan, persoalan ketersediaan benih, pupuk, dan alat mesin pertanian (alsintan) turut menjadi kendala. Menurut Rusli, kerap kali memasuki musim panen, petani belum memiliki benih dan pupuk. Itu karena proses pengadaan benih dan pupuk harus melewati proses lelang di pemerintah pusat.
“Petani kita selalu dihantui masalah bibit dan benih. Belum lagi, kalau gagal lelang, kita justru tidak bisa menanam,” ujar Rusli.
Seiring berjalannya waktu, Rusli mengatakan, pemerintah kemudian melakukan deregulasi terkait lelang benih dan jagung agar kedua bahan utama itu datang tepat waktu. Selain itu, harga pembelian jagung juga dipatok oleh pemerintah sebesar Rp 3.150 per kilogram pada tahun 2018. Lambat laun, kata dia, petani yang dahulu meninggalkan profesi petani jagung kini kembali bergairah untuk menanam jagung.
“Lebih dari 60 persen masyarakat Gorontalo adalah masyarakat petani, pedagang dan peternak. Ketika kita perhatikan mereka, otomatis tingkat kemiskinan Gorontalo ikut menurun,” ujarnya.
Ia mencatat, saat Provinsi Gorontalo resmi berdiri sejak 2001 silam setelah memisahkan diri dari Provinsi Sulawesi Utara, tingkat kemiskinan Gorontalo mencapai 38 persen dari total jumlah penduduk saat itu. Kini, tingkat kemiskinan terus berkurang menjadi 15,58 persen dari jumlah penduduk sebesar 1,16 juta jiwa.
“Banyak petani kita sekarang bisa beli mobil bahkan naik haji. Itu semua kebanyakan petani jagung,” kata dia.