REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute, Yossa Nainggolan, menyatakan akar permasalahan intoleransi yang terjadi di Indonesia adalah aturan yang bersifat membatasi dan cenderung dikriminatif. Hal ini terungkap pada diskusi “Mempertanyakan Keberpihakan Partai Politik dalam Isu Intoleransi ”, yang diselenggarakan The Indonesia Institute, Senin (25/2).
“Aturan pendirian rumah ibadat yaitu Peraturan Bersama Menteri (PBM) No. 8 & 9 yang sebenarnya untuk mengatur, tetapi malah membatasi. Kemudian pada tahap implementasinya cenderung diskriminatif oleh oknum, persyaratan dipersulit, dan bahkan ada penghalangan/intimidasi, persekusi, dan kekerasan," ungkap Yossa.
Yossa menambahkan seharusnya pembatasan mengenai kebebasan beribadah berada pada eksternum atau publik. Sehingga aturan pembatasannya harus pada level Undang-Undang, bukan PBM. PBM tidak berjenjang dan melangkahi hierarki.
“Aturan pembatasan hak kebebasan menjalakan ibadah dapat dilakukan jika memenuhi alasan yaitu agar tidak mengganggu hak dan kebebasan orang lain, agar tidak menimbulkan kekacauan keamanan, dan menjaga ketertiban umum. Namun, aturan ini seringkali multitafsir mengenai aturan-aturan pembatas dan menjadi alasan pembenar untuk menekan keberadaan minoritas agama," tutur Yossa.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Riset Setara Institute, Halili menyebut saat ini telah terjadi 2975 tindakan pelanggaran terkait kebebasan beragama. Dalam 11 terakhir, ada 378 gangguan terhadap tempat ibadah.
Pada paparannya, Halili juga menyatakan bahkan sikap intoleran juga telah menghinggapi generasi milenial. Terdapat potensi intoleransi sebesar 35,7% secara pasif di kalangan siswa, 2,4% intoleransi aktif dan 0,3% berupa teror. Sedangkan 61,6% siswa masih toleran.
Menyikapi persoalan intoleransi, Direktur Lingkar Madani Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti menilai seharusnya partai politik berperan untuk mempromosikan prinsip-prinsip toleransi melalui pendidikan politik yang baik. Partai politik harus memiliki komitmen penuh untuk mendorong prinsip-prinsip toleransi melalui sikap maupun implementasinya di lapangan.
"Saat ini terjadi peningkatan intoleransi pada masa kampanye Pemilu 2019. Hal ini terlihat dengan menguatnya penggunaan politik identitas yang mengarah pada penggunaan isu SARA. Persoalan Intoleransi sangat berbahaya karena berpotensi memecah belah," katanya.