Senin 25 Feb 2019 05:01 WIB

Jejak Pahitnya Kopi dan Penderitaan Kolonial di Indonesia

Kopu ternyata mempuai jejak kepahitan kolonialisme di Nusantara

Jalan Raya Pos Daendels ternyata hanya dipakai sebagai alat ekplotasi rakyat Jawa melalui tanam  paksa. Komoditi kopi diperdagangkan lewat jalan ini.
Foto:
Kolonial memaksa rakyat menanam kopi.

Di masa kini, berdasarkan data tahun 2016 yang dilansir Der Spiegel (2017), Indonesia adalah eksportir yang memproduksi 8% kopi di dunia. Di bawah Brazil (33%), Vietnam (19%) dan Kolombia (10%). Brazil menjual biji kopi yang dipetik seharga 2,7 dollar AS/Kg. Jerman adalah salah satu pembelinya. Jerman kemudian menjual kopi yang telah melalui proses roasting seharga 6,21 dollar/kg.

Pada tahun 2013, Jerman adalah eksportir roasted coffee terbesar di dunia. Disusul Italia, Amerika Serikat, dan kemudian Swiss. Negara-negara ini menangguk keuntungan besar dengan mengambil kopi murah di negara-negara produsen kemudian mengolahnya dan menjualnya kembali dengan keuntungan berlipat.

Ada pola sama yang berulang. Negeri eksportir kopi mengandalkan tenaga kerja yang murah dan hanya mampu menjual barang mentah. Sementara keuntungan berlipat diperoleh negeri yang mampu mengolahnya.

Di Indonesia, persoalan seperti ini harusnya mendapatkan perhatian. Mampukah kopi meningkatkan taraf hidup petaninya? Dan mampukah Indonesia mengekspor lebih dari sekedar barang mentah sehingga kisahnya tak hanya sekedar mengulang kisah pahit dan hitam masa kolonial?

Di balik secangkir kopi hitam yang tersaji di meja kita, tersimpan kisah pahit kolonialisme dan pertanyaan tadi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement