Sabtu 23 Feb 2019 17:56 WIB

LSI: Lebih dari 50 Persen Pemilih tak Tahu Pemilu 17 April

Ini warning bagi KPU, parpol dan capres-cawapres untuk lebih mensosialisasikan pemilu

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Andi Nur Aminah
Papan Hitung Pemilu: Pejalan kaki melintas didepan papan hitung mundur elektronik Pemilu 2019 di kantor Bawaslu, Jakarta, Jumat (22/2).
Foto: Republika/Prayogi
Papan Hitung Pemilu: Pejalan kaki melintas didepan papan hitung mundur elektronik Pemilu 2019 di kantor Bawaslu, Jakarta, Jumat (22/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Adjie Alfarabi, mengatakan masih banyak pemilih yang tidak mengetahui bahwa pemilu akan dilaksanakan pada 17 April 2019. Jumlah pemilih tersebut hampir mencapai lebih dari 50 persen.

Menurut Adjie, hal ini terungkap berdasarkan survei nasional yang dilakukan oleh LSI. "Kami ingin sampaikan satu data yang penting dari survei nasional, survei dapil kami. Ini terkait kinerja KPU, sebab dalam beberapa survei dapil, rata-rata hanya di bawah 50 persen pemilih yang tahu bahwa pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) dilaksanakan pada 17 April," ujar Adjie dalam diskusi di Gondangdia, Jakarta Pusat, Sabtu (23/2).

Baca Juga

Dia melanjutkan, meski banyak masyarakat yang mengetahui pada April akan ada pileg dan pilpres, tetapi ada lebih banyak pemilih yang tidak mengetahui. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya masyarakat yang salah menjawab kapan pemilu serentak 2019 dilaksanakan.

"Jadi ini ada problem dari sisi sosialisasi. Sampai saat ini hanya dibawah 50 persen pemilih yang tau bahwa pemilu serentak itu 17 April. Ini warning bagi KPU, parpol dan capres-cawapres untuk bisa mendorong masyarakat meningkatkan partisipasi dalam pemilu," tegas Adjie.

Problem lain yang dicatat oleh LSI yakni tentang maraknya kampanye golput. Namun, yang perlu dicermati menurut Adjie adalah golput karena administrasi atau teknis, bukan idelogis atau politis.

Dia memperkirakan kondisi pada Pemilu 2019 ini tetap sama, di mana mayoritas golput disebabkan alasan teknis dan administratif. Misalnya, karena pemilih melakukan pindah zona memilih atau pindah dapil yang menyebabkan mereka kehilangan keinginan untuk mencoblos.

"Diperkirakan yang golput akibat alasan politis atau ideologis itu di bawah 10 persen. Namun demikian soal golput juga harus diantisipasi," tuturnya.

Terakhir, LSI juga mencatat persoalan akibat keserentakan pemilu. Kondisi ini membuat terpaan informasi pilpres lebih mendominasi jika dibandingkan pileg.

Adjie mengatakan, kondisi ini bisa dimaklumi karena jika dilihat dari sisi terpaan media massa, sekitar 90 persen terpaan informasi berupa persoalan pilpres. Di media sosial terpaan informasi ini kurang lebih sekitar 30 persen.

"Kalau dilihat isu yang berkembang di televisi maupun media sosial memang mayoritas percakapannya soal pilpres. Jadi dominasi pilpres yang begitu kencang membuat parpol apalagi caleg tenggelam dalam semangat pilpres," katanya.

Efek positif dari dominasi pilpres ini yakni hampir semua parpol nantinya berpotensi menang di pileg jika parpol tersebut memiliki capres kuat dan populer. "Tetapi, persoalannya, ada aturan ambang batas parlemen sekitar 20 persen sehingga saya menduga pemilu berikutnya masih didominasi parpol-parpol yang punya capres. Karena kemungkinan bisa masuk dalam syarat ambang batas parlemen," tambah Adjie.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement