Jumat 22 Feb 2019 21:07 WIB

BNPB Ingatkan Kembali Tingginya Potensi Bencana di Tanah Air

Selain potensi bencana di perairan, daratan Indonesia pun dikeliling cincin api.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Andi Nur Aminah
epala Badan National Penanggulangan Bencana (BNPB), Letjen Doni Monardo
Foto: Republika TV/Havid Al Vizki
epala Badan National Penanggulangan Bencana (BNPB), Letjen Doni Monardo

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Masyarakat kembali diingatkan akan tingginya tingkat bencana di setiap wilayah Tanah Air. Menurut Kepala BNPB Letjen, Doni Monardo, berbagai potensi bencana alam mulai dari tanah longsor, gempa bumi, hingga tsunami dipastikan akan mengintai kita setiap saat.

Doni mengatakan, tingginya potensi ini harus diikuti dengan pengetahuan masyarakat yang baik tentang kebencanaan. "Semua jenis bencana baik dari hidrometrologi, gempa bumi, dan tsunami. Gunung merapi juga jumlahnya cukup banyak," ujar Doni saat menjadi pembicara kunci dalam bedah buku dan seminar nasional bertajuk Model Sinergitas Pentahelix Merawat Alam dan Mitigasi Bencana, di Bandung, Jumat (22/2).

Baca Juga

Menurut Doni, selain potensi bencana dari perairan, wilayah daratan Indonesia pun dikeliling cincin api dan patahan lempeng. "Suka tidak suka, kita berada di atasnya," katanya.

Sehingga, kata dia, tidak heran jika di Indonesia terdapat 500 gunung api yang 127 di antaranya terpantau aktif. Terlebih, bencana pun terjadi tidak semata-mata karena faktor alam. Justru, ulah manusia bisa menjadi penyebab semakin besarnya bencana. "Bencana sumbernya karena manusia, alam, dan nonalam," katanya.

Doni menyontohkan, longsor dan banjir sering diakibatkan ulah manusia yang tidak mematuhi peruntukan tata ruang. Berbagai alih fungsi lahan terus dilakukan di semua daerah tanpa menghiraukan kaidah lingkungan. Khususnya di Jawa, juga di Citarum.

"Gunung Wayang (hulu Sungai Citarum) alih fungsi, pohon kina sudah enggak ada, pembalakan tambah liar, bahkan kadar air mengandung mercuri ditemukan di Sungai Citarum," katanya seraya menyebut semuanya itu diakibatkan ulah manusia.

Menurut Doni, hal-hal seperti ini pun terjadi di luar Pulau Jawa sehingga sering mengakibatkan terjadinya kebakaran hutan. "Kebakaran lahan gambut merugikan negara luar biasa, mencapai 16,1 miliar dolar AS atau sekitar Rp 221 triliun," katanya.

Tak hanya itu, kata dia, pencemaran lingkungan akibat limbah medis ditemukan di beberapa daerah di Tanah Air. Bahkan, ada limbah medis di Cirebon. "Di situ ada kantong (bekas) HIV/AIDS, potongan tubuh manusia, gunting bekas operasi, jarum suntik. Bertahun-tahun kita membiarkan limbah," katanya.

Oleh karena itu, kata dia, masyarakat harus mempersiapkan diri untuk menghadapi potensi bencana yang sewaktu-waktu bisa saja terjadi. "Masyarakatnya harus lebih siap," katanya.

BNPB pun, kata Doni, lebih mengedepankan aspek pencegahan karena korban yang diakibatkan bencana jumlahnya lebih besar dibanding akibat peperangan. "Korban karena bencana lebih tinggi, bahkan melampaui korban perang," katanya.

Pada 2018 kemarin, kata dia, tercatat 4.000 korban yang sebagian besar akibat tsunami dan gempa. Jawa Barat menjadi salah satu provinsi yang paling banyak korban akibat bencana. "Korban jiwa 49 orang pada akhir periode 2018. Ini terbanyak akibat tanah longsor di Cisolok akhir tahun kemarin," katanya.

Menurut Doni, dari kasus di Sukabumi itu mengingatkan pentingnya menggunakan lahan sesuai dengan peruntukannya. Ia meminta warga tidak menanami lahan yang tidak sesuai dengan kondisi lingkungan. Jangan lagi ada tanah kemiringan 60 derajat ditanami dengan padi. "Sehingga longsor, masyarakat di bawah tertimpa," katanya.

Doni pun mengingatkan pentingnya melakukan penghijauan kembali seperti di daerah pantai. Jadi, pohon-pohon harus ditanam lagi di pantai untuk menjaga dari tsunami. "Di Donggala, Banten, ada daerah yang selamat karena dilindungi pohon," katanya. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement