Kamis 21 Feb 2019 17:29 WIB

Lima Fase Merapi Sejak 2010

Kubah lava tumbuh dengan laju rata-rata 3.000 meter kubik per hari.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Yusuf Assidiq
Luncuran awan panas dari puncak Gunung Merapi terlihat dari Balerante, Klaten, Jawa Tengah, Senin (18/2/2019).
Foto: Antara/Agus Setiawan
Luncuran awan panas dari puncak Gunung Merapi terlihat dari Balerante, Klaten, Jawa Tengah, Senin (18/2/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Aktivitas Gunung Merapi terus mengalami peningkatan. Setidaknya, Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) mencatat lima fase aktivitas usai erupsi besar pada 2010 lalu.

Kepala BPPTKG, Hanik Humaida menjelaskan, fase pertama merupakan suplai dapur magma dalam yang terjadi sejak 15 Juli 2012 sampai 20 April 2014. Indikasinya, enam kali letusan freatik yang terjadi tanpa gejala yang jelas.

"Seismisitas April 2018 rendah dengan satu kali gempa vulkanik dangkal, 15 kali gempa multiphase dan 40 kali gempa guguran," kata Hanik, Kamis (21/2).

Fase kedua merupakan migrasi dari dapur magma yang lebih dari tiga kilometer, dan terjadi pada 11 Mei-1 Juni 2018. Indikasinya, 12 kali letusan freatik dan gempa vulkanik tipe B (VTA) mendului letusan terbesar.

Dalam fase itu, seismisitas Mei 2018 memiliki gempa VTA 15 kali, gempa vulkanik tipe B (VTB) enam kali, gempa multiphase 42 kali dan 130 kali gempa guguran. Lalu, fase ketiga migrasi dari kantong magma 1,5-2,5 kilometer.

Fase terjadi dari Juli-10 Agustus 2018. Indikasinya, peningkatan seismisitas VTB 13 kali, gempa frekuensi rendah 27 kali, gempa multiphase 145 kali dan gempa guguran 149 kali.

Sepanjang 2018 dan mengawali 2019, masuk fase keempat mulai 12 Agustus 2018-28 Januari 2019. Itu merupakan fase pertumbuhan kubah lava, yang indikasinya gempa hembusan besar terdengar masyarakat.

Utamanya, lanjut Hanik, masyarakat sekitar Wisata Deles di Kabupaten Klaten pada 11 Agustus 2018. Mengindikasikan ekstrusi lava baru, BPPTKG mengamati material baru dari drone.

Kubah lava tumbuh dengan laju rata-rata 3.000 meter kubik per hari, dengan kejadian guguran instensif rata-rata 40 kali per hari. Guguran lava pijar ke arah Kali Gendol terjadi pada 23 November 2018.

"Sebanyak empat kali dengan jarak luncur maksimum 300 meter," ujar Hanik.

Sebulan terakhir, aktivitas seismisitas yang tercatat ada delapan kali gempa vulkanik dangkal, 15 kali gempa multiphase, 28 kali gempa frekuensi rendah, 71 kali gempa hembusan, 1.132 kali gempa guguran, tapi nihil deformasi.

Terakhir, ada fase pembentukan guguran lava dan awan panas yang terjadi mulai 29 Januari 2019 dan terjadi hingga kini. Indikasinya, guguran awan panas yang terjadi sebanyak tiga klai dengan jarak luncur maksimal 1,4 kilometer.

Pada 7 Februari 2019, guguran awan panas terjadi satu kali dengan jarak luncur dua kilometer. Lalu, pada 18 Februari 2019, terjadi guguran awan panas sebanyak tujuh kali dengan jarak luncur satu kilometer.

Seismisitas sebulan terakhir terdapat 14 gempa vulkanik dangkal, 39 gempa multiphase, 34 gempa frekuensi rendah, 81 gempa hembusan dan 1.216 gempa guguran. Dari semua itu masih nihil deformasi.

Secara umum, aktivitas Gunung Merapi masih berstatus waspada atau level dua. BPPTKG masih merekomendasikan tiga kilometer dari puncak disterilkan dari aktivitas penduduk.

Pada kesempatan itu, Hanik turut menjawab isu adanya retakan kawah yang disebut mengakibatkan desakan magma. Walau menegaskan tidak ditemukan indikasi itu, ia merasa isu itu harus diteliti karena bisa saja retakan terjadi karena cuaca.

"Kalau ada desakan magma, itu deformasi kita akan kelihatan, sampai saat ini data deformasi tidak memberikan indikasi tersebut," kata Hanik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement