REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sangat menyesalkan atas meninggalnya RA seorang santri di sebuah pondok pesantren Nurul Ikhlas di Nagari Balai Gadang Koto Laweh, Kecamatan X Koto, Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat. RA meninggal diduga karena dikeroyok oleh teman-temannya di pesantren.
“RA ini meninggal dunia setelah dianiaya sejumlah santri selama tiga hari di dalam asrama pondok, dan selama sepekan korban menjalani perawatan di Rumah Sakit RA tidak pernah sadar sejak masuk RS hingga menghembuskan nafas terakhir,” kata Komisioner KPAI Retno Listyarti dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Kamis (21/2).
Menurutnya kejadian ini juga tidak lepas dari tanggung jawab pihak pesantren sendiri. Santri kata dia, 24 jam berada di dalam pondok namun hingga terjadi kasus pengeroyokan selama tiga hari artinya pengurus maupun pengelola Pondok Pesantren Nurul Ikhlas telah lalai dalam melakukan pengawasan.
“Kasus kekerasan semacam ini terjadi karena lemahnya pengawasan pihak pengelola, Pembina asrama dan para guru terhadap para santrinya,” tegas Retno.
Retno melanjutkan, andai saja pengawasan oleh pembina asrama dan para guru berjalan dengan seharusnya, maka para santri tersebut tidak mungkin mengalami kekerasan apalagi sampai meninggal dunia. Di kelas kata dia, seharusnya pengajar peka dan mengetahui jika ada santrinya yang sakit karena penganiayaan atau bahkan tidak masuk selama berhari-hari seharusnya dikontrol, dicek kondisi santri tersebut di kamar asramanya.
“Pengelola, pembina asrama dan para guru telah abai, tidak peka dan kemungkinan tidak melakukan control sebagaimana seharusnya sebuah sekolah berasrama. Kelalaian dan kelemahan control tersebut seharusnya dapat dikenai sanksi,” paparnya.
Oleh karena itu Retno meminta agar proses hukum tidak hanya berhenti pada para pelaku pengeroyokan. Namun harus ada pertanggungjawaban dari pihak pengelola dan para guru di Ponpes tersebut.
“Apalagi, Kementerian Agama RI yang menjadi Pembina dan pengawas pondok-pondok pesantren seharusnya menurunkan inspektoratnya untuk melakukan penyelidikan terhadap kasus ini dan memberikan sanksi sesuai peraturan perundangan jika ditemukan kelalaian dan pembiaran terhadap keselamatan santri selama berada di ponpes,” terang dia.
Namun, PAI mengapresiasi Polres Padang Panjang yang dengan cepat memproses kasus pengeroyokan terhadap RA. Kepolisian juga akan kembali menggelar rekonstruksi pemukulan anak pelaku kepada korban untuk membuktikan dominan pemukulan oleh anak pelaku tersebut selama tiga hari hingga akhirnya mengakibatkan korban di malam hari terakhir pemukulan tak sadarkan diri.
Sebanyak 17 orang santri ditetapkan menjadi tersangka sedangkan dua santri lainnya masih dalam pengalaman kepolisian. Usai rekonstruksi, pihak kepolisian berencana akan segera melimpahkan berkas kasus tersebut ke Jaksa Penuntut Umum. “KPAI akan terus memantau jalannya proses hukum ini,” kata Retno.
Sebelumnya, Kementerian Agama wilayah Sumatra Barat berharap kasus kekerasan di pesantren tidak terjadi lagi dan akan memperketat pengawasan lewat Kementerian Agama di kabupaten dan kota.
"Kami akan memperkuat koordinasi dan pengawasan agar tidak ada lagi kekerasan yang terjadi di lingkungan pesantren," kata Kepala Bidang Pendidikan Agama dan Keagamaan Islam Kanwil Kemenag Sumbar Kardinal di Padang, Selasa (19/2).
Ia menyampaikan hal itu menanggapi meninggalnya seorang santri Pondok Pesantren Nurul Ikhlas RA (18 tahun) yang beralamat di Nagari Panyalaian, Kecamatan X Koto, Kabupaten Tanah Datar akibat dikeroyok 17 teman sesama santri secara bergantian selama tiga hari.
Menurut dia, terkait kasus ini pihaknya turut berduka atas meninggalnya salah seorang santri dan sudah turun langsung ke lapangan. "Kami tidak ingin lagi ada kasus serupa, karena itu jadikan ini pelajaran," kata dia.
Ia menyampaikan secara prinsip Kemenag tidak bisa memberikan sanksi atas kasus ini kepada pengelola Pesantren Nurul Ikhlas karena berstatus swasta dan sepenuhnya jadi tanggung jawab yayasan. "Mari perkokoh kembali ukhuwah islamiyah di pondok pesantren," ujarnya.
RA (18), korban pengeroyokan oleh 17 orang teman-temannya sesama santri Pesantren Nurul Ikhlas, Kabupaten Tanah Datar, meninggal dunia pada, Senin (18/2) di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. M. Djamil Padang.
Pejabat Pemberi Informasi dan Dokumentasi (PPID) RSUP dr M Djamil Padang, Gustavianof, menuturkan korban RA telah menjalani perawatan intensif di ruangan observasi intensif instalasi anestesiologi terapi selama delapan hari, akhirnya mengembuskan nafas terakhir sekitar pukul 06.22 WIB.
Sebelumnya Kepolisian Resor Kota Padang Panjang, Sumatra Barat telah memanggil 19 santri Pondok Pesantren Nurul Ikhlas yang diduga melakukan kekerasan terhadap RA hingga tidak sadarkan diri.
"Kami sudah panggil 19 santri dan pihak pondok pesantren koperatif membantu menghadirkan santri-santri tersebut," kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Padang Panjang, Iptu Kalbert Jonaidi.
Kasus tersebut pertama kali dilaporkan paman korban ke Polsek X Koto pada Selasa (12/2), dan kemudian dilimpahkan ke Polres Padang Panjang karena berkaitan dengan anak. Rentang usia 19 santri yaitu 15 sampai 16 tahun.
Dari 19 santri yang diduga melakukan kekerasan, belum semuanya yang dimintai keterangan. Namun dari pengakuan santri yang telah dimintai keterangannya didampingi orang tua, tindak kekerasan bermula karena perilaku korban berinisial RA (17) yang mengambil barang santri-santri lain tanpa izin.
Tindakan RA memicu kejengkelan santri lain sehingga melakukan tindak kekerasan yang dilakukan berulang pada malam hari, mulai Kamis (7/2), Jumat (8/2) serta Ahad (10/2).
Setelah pemukulan pada Ahad (10/2) malam, RA tidak sadarkan diri hingga akhirnya dibawa ke RSUD Padang Panjang lalu dirujuk ke RSUP M Jamil Padang.
"Pemukulan dilakukan di kamar asrama putra lantai dua. Kami mengamankan barang bukti sepasang sepatu boot dan tangkai sapu patah yang diduga dipakai untuk menganiaya korban. Kami masih coba kumpulkan barang bukti lain," katanya.
Pengawas Pondok Pesantren Nurul Ikhlas, Firmansyah mengatakan pihaknya mengakui telah kecolongan dalam pengawasan santri sehingga tidak mengetahui ada tindak kekerasan terjadi di kamar asrama putra.
Setiap kamar asrama putra, jelasnya, dihuni oleh delapan santri dan terdapat satu kamar di dalamnya dihuni ustaz selaku wali di kamar.
Memang kami kecolongan dan kami juga sayangkan tindakan santri yang bertindak sendiri menghakimi teman dan baru melapor pada ustad ketika RA sudah tidak sadarkan diri," katanya.