REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Praktik politik uang, ujaran kebencian, dan berita bohong hingga hari ini masih jadi persoalan besar demokrasi di Indonesia. Terkhusus politik uang bahkan merupakan sebuah kejahatan dalam demokrasi.
Untuk itu, sudah sepatutnya masyarakat menolak praktik kotor itu untuk menjaga kualitas demokrasi agar lebih baik. Sebab, kehadiran politik uang tidak menutup kemungkinan menumbuhkan praktik korupsi.
Bila terpilih, para kandidat yang melakukan pola transaksional untuk merebut suara dari masyarakat tentu saja tidak lagi menjadi kandidat ideal. Kampanye pemilu juga menyediakan lahan subur ujaran kebencian dan berita bohong.
Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kota Yogyakarta, Tri Agus Inharto menilai, peserta pemilu seharusnya melakukan kampanye yang mendidik. Yaitu, kampanye yang menekankan pertarungan gagasan dari para konstestan.
Artinya, kampanye tidak boleh membangkitkan sentimen kebencian. Perdebatan gagasan di tanah publik bertujuan tidak lain menghasilkan kesadaran masyarakat dalam berdemokrasi.
"Oleh karena itu, kampanye sudah seharusnya dilakukan sebagai upaya pendidikan politik masyarakat, guna membentuk tatanan masyarakat yang lebih demokratis dan menghargai keberagaman," kata Tri.
Salah satu usaha Bawaslu Kota Yogyakarta untuk mencegah terjadinya politik uang, ujaran kebencian, dan berita bohong melalui Gerakan Kecamatan Aksi Menolak Politik Uang, Ujaran Kebencian, dan Hoaks (Ampuh).
Deklarasi Gerakan Kecamatan Ampuh akan dilaksanakan di Alun-Alun Selatan pada 24 Februari 2019. Deklarasi akan dilakukan Bawaslu Kota Yogyakarta bersama mitra-mitra kerja dan masyarakat.
Ia berharap, kehadiran komitmen dari Gerakan Kecamatan Ampuh membuat masyarakat semakin paham dan mengerti kepemiluan secara umum. Melalui itu, masyarakat bisa berani melakukan langkah konkrit menolak politik uang.
"Serta berani melaporkan kepada Bawaslu Kota Yogyakarta bila menemukan praktik politik uang," ujar Tri.