Rabu 20 Feb 2019 03:00 WIB

Amerika Rusak Politik Venezuela

Amerika agresif mencampuri persoalan dalam negeri Venezuela.

Pendukung Nicolas Maduro merayakan kemenangan pemimpinnya saat pengumuman perolehan suara Pilpres, Ahad (20/5) malam.
Foto: New York Times
Pendukung Nicolas Maduro merayakan kemenangan pemimpinnya saat pengumuman perolehan suara Pilpres, Ahad (20/5) malam.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nuraini*

Krisis politik yang terjadi di Venezuela menjadi perhatian dunia. Berbagai negara menyatakan sikapnya atas krisis politik di negara Amerika Latin tersebut. Sikap paling agresif dalam menanggapi krisis politik di Venezuela ditunjukkan oleh Amerika Serikat. Di bawah ancaman AS, mampukah Venezuela meredam permasalahan di dalam negerinya?

Gejolak di internal Venezuela telah dimulai saat pelantikan Nicolas Maduro kembali menjadi presiden pada 10 Januari 2019. Maduro telah memimpin Venezuela sejak 2013 sepeninggal Hugo Chavez yang meninggal karena kanker setelah memimpin selama 14 tahun. Akan tetapi, ekonomi Venezuela jatuh ke jurang krisis saat Maduro memimpin. Selama ini, Venezuela dikenal sebagai salah satu produsen minyak terbesar di dunia. Venezuela juga memegang kursi pimpinan OPEC hingga 2025. Namun, inflasi tinggi mengadang ekonomi Venezuela yakni hingga 1,3 juta persen dalam 12 bulan yang tercatat hingga November 2018. Krisis ekonomi itu membuat sekitar 3 juta warga Venezuela melarikan diri ke luar negara sejak 2015.

Dengan kondisi ekonomi yang memburuk, oposisi Venezuela menuding kemenangan Maduro dalam pemilihan umum penuh kecurangan. Politik Venezuela semakin memanas saat pemimpin oposisi Juan Guaido memproklamirkan diri menjadi presiden sementara Venezuela dan menuntut pemilihan umum diulang. Perpecahan politik itu disambut dengan demonstrasi ratusan ribu warga Venezuela yang turun ke jalan.

Klaim Juan Guaido sebagai presiden sementara segera disambut oleh sejumlah negara. Amerika Serikat mengakui kepemimpinan sementara Guaido yang diikuti oleh negara sekutunya dan negara Amerika latin lainnya yakni Israel, Kanada, Brasil, Argentina, Cile, Kolombia, Kostarika, Ekuador, Guatemala, Panama, Paraguay, Bolivia, dan Meksiko. Akan tetapi, Maduro juga mendapat dukungan dari Rusia, Turki, Iran, dan Cina. Sementara, Inggris, Jerman, Prancis, dan Spanyol meminta Maduro mengumumkan pemilihan umum baru dalam delapan hari, yang tidak dilaksanakan. Keempat negara itu kemudian mengakui Juan Guaido.

Agresivitas AS mulai ditunjukkan dengan menjatuhkan sanksi kepada perusahaan minyak Venezuela, PDVSA. Rekening pembelian minyak AS di PDVSA diblokir termasuk membekukan aset AS di PDVSA. Selain sanksi, Presiden Donald Trump mengumumkan adanya opsi intervensi militer untuk menghadapi Venezuela. Pernyataan itu langsung ditentang oleh Rusia dan Cina. Intervensi itu tentu melanggar prinsip non-interference yakni tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain dalam hubungan internasional. Namun belakangan, Donald Trump membantah pernyataannya yang membicarakan opsi militer untuk Venezuela.

Akan tetapi, ancaman AS terhadap Maduro tidak berhenti. Trump mengancam militer Venezuela yang mendukung Maduro agar mengizinkan bantuan AS masuk ke negara tersebut. Dalam pidatonya, Trump juga mengecam sosialisme Maduro sebagai boneka Kuba. Kedua negara itu selama ini dikenal selalu menentang kebijakan AS di Amerika Latin.

Bantuan AS yang dikirim atas permintaan Juan Guaido tertimbun di perbatasan Kolombia dan Venezuela karena Maduro menolak membiarkannya masuk. Maduro menyangkal adanya krisis meskipun Venezuela kekurangan makanan dan obat-obatan. Guaido sendiri masih berusaha memasukkan bantuan itu melalui darat dan laut.

Di tengah krisis politik dan ekonomi itu, rakyat Venezuela yang jatuh sebagai korban. Dalam catatan PBB, sebanyak 5.000 orang meninggalkan Venezuela setiap hari. Eksodus sebanyak 2,3 juta warga Venezuela dilaporkan telah berlangsung pada 2018. Kurangnya obat-obatan dan makanan yang parah membuat mereka memilih ke Brasil, Kolombia, Ekuador, Peru, dan sejumlah negara tetangga lainnya.

Resolusi politik Venezuela mendesak dilakukan. Tetapi, tidak dengan intervensi politik apalagi militer dari negara-negara lain seperti ancaman AS. Selama ini ancaman AS justru memperuncing dan menjadi bahan bakar yang terus memanasi pertikaian dan perebutan kekuasaan pemimpin di Venezuela. Saatnya, negara-negara lain menyerukan adanya dialog nasional di Venezuela. Peran PBB tentu sangat dinanti dalam kondisi kritis tersebut.

*) Penulis adalah redaktur republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement