Selasa 19 Feb 2019 04:29 WIB

Supaya tidak Dikuasai Asing, Unicorn Perlu Regulasi

Pemerintah perlu merancang regulasi yang menguatkan 'start-up' asli Indonesia.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Hasanul Rizqa
Ilustrasi ojek online
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Ilustrasi ojek online

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tema start-up digital dengan capaian (unicorn) menjadi hangat di tengah publik setelah disinggung dalam debat calon presiden (capres) putaran kedua, Ahad (17/2) malam. Dalam konteks Tanah Air, ada empat startup digital unicorn milik orang Indonesia yang kini mendapat kapitalisasi besar, tetapi berpotensi dikuasai asing.

Hal itu disampaikan pengamat transportasi dari Universitas Katholik Soegijapranata, Djoko Setijowarno. Dia menilai, pemerintah perlu segera membuat regulasi yang menguatkan startup digital asli Indonesia, terutama yang terbukti mencapai status unicorn. Hal itu supaya mereka jangan sampai dikuasai atau dimiliki mayoritasnya oleh pihak negara-negara asing.

Baca Juga

Perlu diketahui, unicorn adalah istilah untuk perusahaan rintisan atau startup yang memiliki valuasi lebih dari 1 juta dolar AS. Sebelum mencapai unicorn, terdapat sejumlah tahapan pendanaan dari sisi valuasinya. Startup seri A adalah perusahaan rintisan yang memiliki valuasi 600 ribu dolar Amerika Serikat (AS) hingga 3 juta dolar AS. Saat ini, lanjut Djoko, Indonesia memiliki empat startup, yaitu Go-Jek, Tokopedia, Bukalapak dan Traveloka.

"Di sektor transportasi, operasional Gojek sudah mengarah kapitalis, karena tidak diikuti aturan yang bisa melindungi mitra kerja," kata Djoko Setijowarno kepada awak media, Senin (18/2).

Dia menambahkan, sejauh ini sistem aplikasi transportasi daring (online) tidak diawasi, apalagi diaudit lembaga yang berwenang. Menurut Djoko, pemerintah sangat terlambat mengantisipasi hadirnya perkembangan sistem tersebut. Tambahan pula, pemerintah tidak cukup jelas dalam menentukan arah kebijakan dalam konteks itu. Apalagi, masing-masing instansi yakni kementerian/lembaga terkesan bertindak sendiri-sendiri alias kurang sinergi.

"Sekitar dua tahun lalu ketika, sebagian saham belum dimiliki asing, mitra Gojek masih mendapatkan bonus yang cukup besar. Pendapatan driver ojek daring bisa minimal Rp 8 juta per bulan. Bahkan ada yang mencapai Rp 12 juta per bulan. Sekarang untuk mendapatkan Rp 4 juta harus bekerja hingga 12 jam dalam sehari," papar dia.

photo
Layanan ojek berbasis aplikasi, Gojek (ilustrasi).

 

Bilamana Asing Menguasai

Djoko mengungkapkan setelah sebagian saham dimiliki asing, tentunya target keuntungan menjadi sesuatu yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Sementara, urusan kesejahteraan mitra menjadi kurang diperhatikan.

Padahal, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sudah membuat Rancangan Peraturan Menteri Perhubungan (RPM) yang pada intinya mengatur keselamatan, biaya jasa, suspend dan kemitraan. Namun, RPM itu tidak bisa berdiri sendiri dalam upaya melindungi pengemudi (driver) dan konsumen ojek daring.

Perlu adanya dukungan dan sinergi terutama dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Demikian pula, mesti ada kesepahaman dengan Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker), sehingga dapat terwujud aturan yang menyoroti hubungan kemitraan antara pemilik aplikasi dan pihak driver ojek daring.

"Tugas menerbitkan peraturan untuk mengawasi dan mengaudit aplikasi yang digunakan pengusaha aplikasi atau aplikator," sebut Djoko.

Dengan demikian, ia berharap ada perlindungan yang jelas bagi startup asli Indonesia, sekaligus menjaga kredibilitas suatu aplikasi. Di samping itu, perlu adanya komitmen untuk melindungi kesejahteraan pengemudi serta kepercayaan konsumen pengguna ojek daring.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement