Ahad 17 Feb 2019 23:35 WIB

Dua Capres Akur Soal Sawit, Nobar di Walhi Pun Meriah

Dua capres akur dalam berbicara soal kelapa sawit.

Capres No 01 Joko Widodo dan Capres No 02 Prabowo Subianto usai debat kedua calon presiden pemilu 2019, Jakarta, Ahad (17/2).
Foto: Republika/Prayogi
Capres No 01 Joko Widodo dan Capres No 02 Prabowo Subianto usai debat kedua calon presiden pemilu 2019, Jakarta, Ahad (17/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Suasana nonton bareng (nobar) di kantor Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Jakarta, Ahad (17/2) malam, menjadi lebih meriah, Penyebabnya saat dua calon presiden (capres) akur berbicara soal kelapa sawit dalam debat capres putaran kedua.

Area nobar yang digelar Koalisi Golongan Hutan yang sebelumnya hening tiba-tiba menjadi riuh dengan tawa oleh puluhan aktivis dan milenial peduli lingkungan. Itu setelah mendengar jawaban Capres Prabowo Subianto yang menutup pertanyaan terkait komoditas sawit. "... kita akan genjot sawit, aren, kasava untuk bisa dimanfaatkan (untuk biofuel)," kata Prabowo.

Sebelumnya ia juga mengatakan bahwa kelapa sawit merupakan komoditas penting yang menjanjikan, bisa untuk biofuel. Dia membenarkan ada pengembangan biofuel B20, namun Brasil sudah mampu mencapai B90. Menurut Prabowo, pemanfaatan sawit bisa lebih lagi untuk meningkatkan pemasukan untuk petani.

Sedangkan petahana, Capres Joko Widodo sebelumnya mengatakan akan mengurangi energi fosil dengan menaikkan pemanfaatan minyak kelapa sawit untuk bahan bakar nabati (BBN) B100. Ia menyebutkan produk kelapa sawit saat ini sudah mencapai 46 juta ton per tahun dan melibatkan 16 juta petani di Indonesia.

Pengembangan sawit untuk BBN B20 sudah mencapai 98 persen, dan akan digenjot menjadi B100. Pengembangan tersebut sudah direncanakan supaya pemenuhan energi tidak lagi tergantung bahan bakar fosil.

Manajer Kampanye Keadilan Iklim Eksekutif Nasional Walhi Yuyun Harmono mengaku cukup kecewa dengan rencana pengembangan biofuel B100 tersebut. Ini menjadi catatan penting, karena ada kekhawatiran pengalihan emisi dari fosil ke sektor lahan mengingat pengembangannya akan membutuhkan lahan yang sangat luas.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Partnership for fovernance Reform (Kemitraan) Monica Tanuhandaru mengatakan keduanya masih mendorong penggunaan sawit untuk bahan bakar. Namun barang kali justru menempatkan Indonesia ke posisi rentan.

Menurut dia, tidak ada yang salah dengan kelapa sawit, apalagi jika dikonversi ke energi. Tapi risiko jumlah lahan yang digunakan untuk pengembangannya dikhawatirkan menempatkan rakyat pada posisi rentan.

Sedangkan Plt Direktur Eksekutif Koaksi Indonesia Nuly Nazlia juga mengkhawatirkan rencana pengembangan bahan bakar B100. Dia mengatakan, untuk produksi B30 saja membutuhkan luasan sekitar empat juta hektare (ha) lahan. 

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement