Kamis 14 Feb 2019 21:28 WIB

Solskjaer Masih Harus Belajar

Pelatih PSG Thomas Tuchel terlihat lebih siap.

Israr Itah
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Israr Itah

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Israr Itah*

Saya termasuk pihak yang percaya Manchester United (MU) akan unggul tipis saat menjamu Paris Saint-Germain (PSG) pada leg pertama babak 16 besar Rabu (13/2) dini hari WIB. Dari sejumlah alasan yang bisa diapungkan, sosok Ole Gunnar Solskjaer di belakang kendali tim menjadi yang utama.

Di tangan Solskjaer laju Iblis Merah belum terhentikan di kompetisi lokal. Juru taktik asal Norwegia membawa United meraih 10 kemenangan dari 11 laga di berbagai kompetisi. Satu laga berakhir imbang. Dua dari 10 kemenangan itu berasal dari Tottenham Hotspur dan Arsenal, dua klub London pesaing di papan atas Liga Primer Inggris.

Sebelum menghadapi PSG, MU bermain fantastis dengan mengalahkan Fulham 3-0. Kerja sama tim, kecepatan, dan kemampuan mengeksploitasi kelemahan lawan ditunjukkan Paul Pogba dkk. Kebetulan berselang menit setelah laga tersebut, PSG bermain melawan Bordeaux. Les Rouge et Bleu dibuat kesuitan oleh lawannya meski akhirnya menang 1-0 lewat adu penalti. Malangnya, kemenangan ini dibayar dengan cedera Edinson Cavani dan bek Thomas Meunier.

MU yang brilian akan bermain di kandang menghadapi PSG minus Neymar, Cavani, dan Meunier. Di luar fan PSG, agaknya tak banyak orang di luar sana yang punya keyakinan les Rouge et Bleu bisa melibas MU.

Laga di Old Trafford kemudian menyuguhkan permainan dengan oktan tinggi. Kedua tim sama-sama tangguh dalam bertahan dan lekas mengancam lawan lewat serangan balik. Setidaknya pada babak pertama, permainan relatif berimbang walaupun PSG sedikit lebih banyak menguasai bola.

MU tak beruntung karena kehilangan Marcus Rashford dan Anthony Martial lebih cepat. Masuknya Alexis Sanchez dan Juan Mata membuat pekerjaan defensif PSG lebih mudah. Alhasil dengan sedikit penyesuaian taktik, PSG dapat menghukum MU dengan dua gol.

Iblis Merah beruntung punya David De Gea di bawah mistar. Kiper timnas Spanyol inilah yang menghalangi PSG menang lebih banyak, seperti yang dilakukannya saat MU menang tipis 1-0 atas Tottenham Hostpur.

Selepas laga, Solskjaer mengakui PSG bermain dengan level lebih baik dari timnya. MU, kata dia, harus bisa memetik pelajaran ini untuk menghadapi laga-laga penting selanjutnya, tak hanya melawan PSG.

Secara pribadi, Solskjaer tampaknya juga mendapatkan pelajaran dalam mengutak-atik taktik di level setinggi Liga Champions. Berikut penyesuaian yang harus dilakukan di lapangan saat terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Pelatih PSG Thomas Tuchel terlihat lebih siap untuk ini. Tanpa Neymar, Cavani, dan Meunier, ia meramu tim yang pas untuk meredam kecepatan serangan dari sayap serta determinasi Paul Pogba di tengah. Kita tahu, Solskjaer sangat menggemari serangan cepat dari kedua sayap dalam 11 pertandingan United sebelumnya.

Tuchel lebih condong menutup sisi kiri United alias melapis lebih sisi kanan timnya. Ia memasang Dani Alves sebagai pengadang pertama gerakan Anthony Martial. Alves yang sudah berumur dibantu Marquinhos yang menutup Paul Pogba yang biasa membantu Martial. Sementara bek muda Jerman Thio Kehrer menjadi sosok terakhir penghenti penyerang asal Prancis tersebut.

Tuchel juga yakin, United tak akan terlalu maksimal mengeskploitasi sisi kiri pertahanan timnya. Sebab, PSG punya bek sayap Juan Bernat dan winger Angel Di Maria yang siap menghadirkan ancaman. Dalam hitungan Tuchel, Ashley Young tak akan berani terlalu naik membantu serangan. Begitu pula konsentrasi Ander Herrera akan terpecah antara membantu Marcus Rashford membongkar pertahanan PSG serta melapis Young meredam serangan lawan.

Jesse Lingard yang dipasang sebagai false nine untuk mengacaukan konsentrasi pertahanan PSG juga tak maksimal. Ia dengan mudah dipatahkan oleh Marquinhos sebelum berhadapan dengan Thiago Silva.

Sedari awal Tuchel sudah mengarahkan MU untuk mengalirkan bola ke sisi sayap. Dia menerapkan pressing tinggi untuk memuluskan rencananya ini. Pogba dan Nemanja Matic dibuat kesulitan berkreasi di tengah karena banyaknya pemain PSG di sisi ini. Formasi defensif PSG lebih sering menggunakan 3-4-3 untuk memutus alur bola, merebutnya, kemudian melancarkan serangan balik.

PSG sebenarnya juga tak bisa berbuat banyak. Sebab, MU tak memberikan ruang yang cukup bagi lawannya berkreasi. Formasi bertahan 4-1-4-1 cukup efektif untuk MU meredam tamunya.

Tapi semua berubah pada babak kedua. Entah karena kehilangan Martial dan Lingard atau alasan lain, Solskjaer mengubah pertahanan timnya menjadi 4-2-3-1. Ini memberikan lebih banyak ruang bagi Alves dan Julian Draxler untuk menghadirkan lebih banyak ancaman di sisi kiri pertahanan MU. Alves makin menggeliat karena tugas defensifnya sedikit berkurang dengan keluarnya Martial. Kita tahu, upaya Alves yang berbuah sepak pojok menjadi awal terciptanya gol PSG. Sejak itu PSG konstan memberikan ancaman.

Solskjaer tak lekas mengubah kesalahan ini. Alhasil, gol kedua pun tercipta. Kali ini, giliran sisi kanan pertahanan MU tak mampu menghentikan Di Maria. Dengan timing sempurna, ia melepas operan yang disambut dengan brilian oleh Mbappe di depan gawang dengan memaksimalkan kecepatan larinya.

Sejak tertinggal dua gol, MU seperti kebingungan untuk memecah pertahanan lawan mereka. Upaya Solskjaer memasukkan Romelu Lukaku juga tak membuahkan hasil karena Silva jago menutup bola-bola udara. Kekalahan pertama pun diderita.

Pelatih asal Norwegia ini meminta pasukannya tetap berjalan dengan kepala tegak. Ia mau timnya harus segera bangkit demi target empat besar dan ambisi meraih trofi pada akhir musim ini. Selain harus segera memulihkan mental timnya, Solskjaer juga harus cepat belajar dari kekalahan ini.

*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement