Jumat 15 Feb 2019 05:01 WIB

BPUPKI, Aidit, Sampai Shalat Jumat Kauman: Politik Agama

dari semua Presiden hanya Gus Dur yang benar-benar bisa disebut mendalami Islam.

Raja Pakubuwono X ketika berkunjung ke Masjid Luar Batang 1920
Foto: Gahetna.nil
Raja Pakubuwono X ketika berkunjung ke Masjid Luar Batang 1920

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

''Jangan bawa-bawa agama dalam politik!' Imbauan ini saat jauh-jauh dari masa pemilu terasa mengena. Tapi menjelang hari pencoblosan kini terasa hambar. Suhu politik tiba-tiba membawa-bawa soal shaleh atau tidaknya seorang calon presiden, bahkan hingga soal taat tidaknya seorang capres menjalankan shalat menjadi sesuatu yang mengharu biru.

Dan memang banyak yang terheran-heran soal makin merebaknya soal tersebut. Shalat kini dibawa-bawa dalam soal politik. Bahkan yang terakhir soal shalat Jumat pun jadi masalah. Dah harus diakui secara terbuka bila aspek keislaman calon presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto jadi sorotan sepanjang kontes kampanye Pilpres 2019.

Bila dilacak soal isu agama dibawa dalam politik semenjak zaman raja-raja dahulu. Kalau yang paling terkini isu ini sebenarnya semakin kencang semenjak soal kasus zaman Gubernur DKI dijabat Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Tapi itu masih lebih non teknis karena belum menyangkut soal khusus yakni pelaksaaan ibadah khusus dalam beragama. Dan tak hanya soal ekspresi dan tata laku shalat, soal pelafalan bahasa Arabnya pun menjadi masalah. Semakin tak fasih berarti tak semakin Islami, dan semakin itu dia kontan dianggap  sebagai sosok Muslim yang tak saleh. Dengan begitu tak usah dipilih.

Sepenggal contoh ini awalnya dalam pertarungan Pilpres 2019 tampak bermula dari omongan La Nyalla Matalitti. Entah mengapa dia kini menuding Prabowo tidak memiliki pemahaman Islam yang baik. Dia bahkan menyebut Ketua Umum Gerindra itu tak punya nyali untuk memimpin salat. Padahal semua tahu bila La Nyalla dahulu di Pemilu 2014 pendukung Prabowo. Imajinasi ini mungkin karena Prabowo berasal dari keluarga 'gado-gado' dalam agama, bersekolah di luar negeri (di Malaysia, Hongkong, hingga Inggris). Selain itu ayahanda Prabowo selain di kenal sebagai begawan ekonomi, Pak 'Cum' (Sumitro Djojohadikusumo) adalah bukan tokoh agama, namun sebagai tokoh penting dari Partai Sosialis Indonesia (PSI) pimpinan mendiang Perdana Menteri Sutan Syahir.

Menanggapi tudingan La Nyalla itu, Prabowo lantas merespons tudingan mantan kadernya yang gagal maju Pilgub Jatim itu. Dia dengan terus terang mengakui bahwa dirinya memang bukan ahli agama atau orang yang dahulunya 'religius'. Prabowo malah mengatakan bila dalam soal menjadi imam shalat maka dirinya harus tahu diri, dengan mengutamakan orang lain atau pemuka agama untuk menjadi imam shalat. Dan dari cerita orang-orang dekat dengan Prabowo, capres ini pun sudah lama punya punya guru ngaji. Prabowo pun juga sudah lama belajar bahasa Arab karena seusai reformasi dia sempat berbisnis di Yordania.

"Saya tidak bisa jadi imam salat. Ya saya merasa tahu diri. Betul. Yang jadi imam ya harus orang yang lebih tinggi ilmunya," kata Prabowo ketika berpidato di Konferensi Nasional Partai Gerindra di Sentul, Bogor, Senin (17/12).

Namun, keterusterangan Prabowo segera disambar pihak pesaingnya. Entah mengapa Jokowi dan timnya seolah-olah menunjukan lebih Islami. Isu pertama adalah menyajikan isu Jokowi sebagagi santri. Pihak Istana kemudian memperlihatkan berbagai foto sosok Jokowi memimpin salat satu hari setelah Prabowo mengaku lebih mengutamakan ulama untuk menjadi imam. Tak tanggung-tanggung video Jokowi menjadi Imam Shalat di Afgahnistan pun menyebar. Tak ayal lagi, foto Jokowi menjadi imam di Pondok Pesantren Darul Ulam di depan para pejabat penting pun ikut tersebar. Pejabat menteri sekales Luhut Panjaitan yang jelas-jelas non Muslim ikut sibuk mengomentari soal shalat.

"Ada orang tanya Presiden Jokowi Islamnya di mana sih? S‎aya berteman dengan beliau lebih dari 11 tahun. Beliau saat ke rumah saya, datang, waktunya Maghrib misalnya, dia langsung ke ajudan saya, tanya, ambil sajadah, ambil wudu, salat, selesai ya ngobrol lagi. Dari dulu itu, belum ada pencitraan mau jadi Presiden," ujar dia di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Senin (21/8/2017).

photo
Sukarno dan M Nastir di acara ulang tahun Partai Islam Masyumi. Partai berideologi Islam ini kemudian oleh Sukarno dibubarkan pada awal dekade 1960-an.

Maka jelas, memang tampak jelas keshalehan sekarang telah berubah menjadi lebih penting dibanding isu-isu strategis kenegeraan lain yang seharusnya dibahas dalam debat selama kampanye pilpres. Kedua belah pihak kubu capres saling bertahan dan menyerang dengan isu ini dengan seru. Terakhir ini misalnya soal kontroversi larangan shalat di masjid legendaris di Semarang, yakni masjid Kauman. Alasan takmir takut karena dipolitisi. Anehnya, ungkapan ini janggal karena di media soal sudah keburu bertebaran berbagai pose kedua kubu capres yang tengah melakukan shalat di berbagai masjid dan kesempatan.

“Loh ini kan seperti menjadikan masjid sebagai tempat acara mereka. Karena yang ngundang bukan masjid, tapi yang ngundang mereka dengan kalimat ‘Hadirilah Shalat Jumat Bersama Bapak Prabowo’,” kata pengurus Masjid Kauman Semarang, KH Hanief Ismail.

Dan memang isu agama selalu dibawa-bawa dalam politik. Di zaman dahulu misalnya soal ini dibawa-bawa dalam perdebatan 'pertarungan politik' di masa Orde Lama antara DN Aidit ketika ingin menyingkirkan seterunya yang terindikasi membawa idelogi politik Islam. Pidatonya yang sangat terkenal adalah kala dia berpidato di Stadion Senayatan menyuruh para kadernya memakai sarung bila tak bisa membubarkan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Sebelumnya dia getol juga 'membabat' politik kaum 'hijau' yang bertumpu pada kekuatan Partai Masyumi.

photo
Sukarno bersama Aidit dalam rapat raksasa di Stadion Senayan pada tahun 1964. Di sini Aidit menyuruh kadernya memakai sarung bila tak bisa membubakan organisasi mahasiswa Islam (HMI).

Ide membawa sekaligus mengebiri politik Islam terus terjadi di masa datangnya Orde Lama. Bung Hatta yang ingin kembali menghidupkan kembali Partai Islam (Masyumi) baru dihabisi. Alasan Presien Suharto kala itu saatnya masih tidak tepat waktu dan dianggap malah membuat masalah. Alasan ini terus dibawa sampai pada tahun 1990 (hingga berdirinya ICMI). Isu soal kesalehan dan Islam hanya dipakai sebagai sekedar 'vote getter'.Para pejabat kala itu sempat menampilkan kesalahen meski pun terkesan lucuan karena banyak yang terpeleset, misalnya munculnya sengkarut politik akibat keseleo lidah yang tidak bisa fasih dengan memplesetkan 'walad dolad-dolen' oleh seorang pejabat penting menjadi dalang wayang kulit.

Uniknya kini, cendikiwan pun tak banyak mempersoalkan merebaknya soal isu agama dalam politik. Terus terang baru tercatat seorang pengamat politik seperti Hendri Satrio yang terbuka mengecamnya. Dalam sebuah 'talk show' di televisi dia dengan terbuka mengungkapkan 'kebanalan' ini sebagai isu yang terlalu jauh menyimpang dari tujuan adanya Pilpres di zaman moderen alias milienial.

Alhasil di sini terbukti, isu politik agama yang dalam pilpres sebelumnya hanya sekedar main-main, kini benar-benar berubah menjadi 'powerfull' sekaligus menjadi rebutan. Maka, mau tidak mau isu perdebatan soal hubungan agama dan negara seperti dalam pembahasan rapat BPUPKI dan Piagam Jakarta di tahun 1945 bangkit kembali. Sekali di sini terbukti, peradaban dan demokrasi negara ini Indonesia memang tak banyak beranjak. Bisa jadi kita malah kembali hidup dalam ilusi masa silam.

Padahal kalau mau jujur, para presiden Indonesia hanya Gus Dur saja yang betul paham soal agama Islam (santri). Di luar itu, pemahaman presiden Indonesia lainnya juga tergolong 'biasa saja'. Bung Karno selalu diledek tak pernah bisa memahami ajaran Islam secara sepenuhnya karena tidak mengambil atau mengutip langsung dari sumber aslinya dalam bahasa Arab, karena dia mengambil soal keislaman dari tangan kedua, yakni buku-buku soal agama Islam dalam bahasa Inggris. Misalnya, dia baru merasa memahami sepenuhnya Alquran ketika membaca tafsir Alquran dalam versi bahasa Inggris yang ditulis cendikiawan asal Pakistan.

photo
Suharto dan Ibu Tien ketika menunaikan ibadah haji di awal tahun 1990-an.

Begitu juga dengan  Pak Harto. Meski sempat mengenyam pendidikan di sekolah Muhammadiyah, mengaku sering tidur di masjid kampuns sehingga 'jago; menabuh bedug, dia d awal kekuasaan Orde Baru dikenal sebagai sosok orang kebatinan 'abangan'. Baru semakin tua, yakni setelah menjalani masa 2/3 kekuasaan, Pak Harto menjadi lebih shaleh (sampun dados tiyang Islam, istilah Jawanya). Guru Islamnya pada saat 'sepuhnya' bisa disebut misalnya ada  seseorang sekelas imam tentara, KH Kosim Nursekha, atau cendikiawan seperti  DR Quraish Shihab. Begitu juga dengan sosok BJ Jusuf Habibie, Megawati, hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Mereka juga bukan anak atau sosok yang sempat mengenyam pendidikan formal agama Islam. Namun, kemudian banyak orang tahu siapa saja guru spritual mereka. Ada ulama hingga habaib misalnya.

Nah, benarkan kita belum beranjak jauh dari soal keributan hingga silang sengkarut  hubungan agama dan negara. Celakanya lagi,  isu ini kali ini datangnya justru dipicu atau muncul dari elit Indonesia sendiri! Jadi negara ini sudah bergerak maju atau jangan-jangan malah mundur terlalu jauh?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement