Rabu 13 Feb 2019 09:41 WIB

Tiket Pesawat Mahal Versus Sektor Pariwisata

Tiket pesawat untuk perjalanan dalam negeri tidak lagi menggoda.

Daftar tarif bagasi pesawat.
Foto: republika
Daftar tarif bagasi pesawat.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Sari Lenggogeni, Direktur Tourism Development Center Universitas Andalas

Stakeholders pariwisata berteriak. Harga tiket domestic airlines full service yang tinggi diikuti pembatasan kapasitas bagasi untuk sejumlah Low Cost Carrier (LCC) telah menjadi isu nasional.

Kedua topik tersebut ramai diperbincangkan di pelataran media massa ataupun Social Networking Sites (SnS). Asosisiasi Tour Travel Indonesia pun telah mengeluarkan beberapa keluhan terkait dampak yang sedang dirasakan pelaku usaha wisata, terutama UMKM.

Kondisi tersebut diafirmasi Angkasa Pura II dengan mengeluarkan pernyataan, telah terjadi pembatalan penerbangan dan penurunan penumpang sekitar 20-30 persen. Jika dikaitkan pada sektor pariwisata nasional, situasi ini mengundang banyak tanda tanya.

Kebijakan tersebut terlihat kontraproduktif jika dihadapkan dengan misi Kementerian Pariwisata (Kemenpar) yang ingin mengalahkan negara tetangga, Malaysia, sebagaimana yang selalu disampaikan menteri pariwisata di banyak seminar ataupun forum.

Dengan kondisi saat ini, terbloknya jalur penerbangan udara sebagai salah satu pendukung aksesibilitas, tentu menjadi peringatan bagi keseimbangan tabel input-output pariwisata Indonesia. Potensi kebocoran semakin melebar.

Sebab, tiket untuk perjalanan dalam negeri tidak lagi menggoda, terdegradasi harga mahal untuk kelas airlines full service dan kebijakan bagasi berbayar untuk LCC. Risikonya, godaan wisatawan outbound ke negara tetangga akan semakin lebar.

Bukan tidak mungkin, rotasi wisatawan nusantara dengan target 270 juta wisman tahun 2019 sulit dicapai. Ditambah, situasi tidak kondusif bagi agen perjalanan untuk menjual paket dalam negeri.

Daripada gulung tikar, penjualan outbound ke luar negeri tentu akan diperlebar untuk mempertahankan bisnis agen wisata. Sinyal pintu kebocoran ini sudah terlihat dari neraca satelit pariwisata yang dikeluarkan Kemenpar tahun 2016.

Walaupun masih surplus, potensi kebocoran ekonomi akibat outbound atau wisatawan Indonesia ke luar negeri (tercatat 8,18 juta kunjungan tahun 2015) umumnya dari Sumatra, yang terpancing berwisata kesehatan ke Malaysia dan Singapura cukup signifikan.

Data menunjukkan, dari 2011 jumlahnya meningkat. Di samping itu, kebijakan ini terasa asing karena pada 2016, Kementerian BUMN sepakat membantu mencapai target Kemenpar melalui program BUMN untuk negeri mendorong pariwisata Indonesia.

Tiba-tiba, semua seakan terhenti atas izin Kementerian Perhubungan untuk dua kebijakan tersebut. Namun, mengapa seakan kedua kementerian terkait, Kemenpar dan Kementerian BUMN, belum banyak bersuara?

Dalam tulisan ini, penulis mengulas dampak harga tiket untuk konteks Sumatra Barat (Sumbar). Sumbar di posisi ke-3 dari lima pintu masuk internasional di Sumatra setelah Kepulauan Riau dan Medan (Kemenpar) atau urutan 13 dari 15 provinsi yang memiliki pintu masuk internasional di Indonesia.

Dilihat dari jumlah wisman yang masih berkisar 49.568 pada Januari-November 2018 (Kemenpar, 2018), Sumbar masih tertinggal dari provinsi lainnya, apalagi Bali yang sudah mencapai 5.555.198 per November 2018.

Provinsi Sumbar memang bukan salah satu dari 10 Bali Baru yang ditetapkan Kemenpar, tetapi potensi pariwisatanya menduduki posisi ke-4 setelah Aceh, Lombok, Jakarta untuk destinasi halal versi Indonesian Muslim Travel Index-hasil Cressent Rating.

Selain itu, peringkat pertama dalam kelompok adopter serta mendapatkan empat penghargaan sebagai destinasi halal terbaik, tour travel, kuliner, dan restaurant versi World Halal Tourism Awards di Abu Dhabi tahun 2016.

Sumbar juga mendapat tiga pengakuan geopark nasional, yakni Ngarai Sianok, Silokek, dan Sawahlunto. Wisatawan mancanegara didominasi pasar Malaysia melalui penerbangan langsung Air Asia dan Australia dengan minat utama berselancar di Mentawai.

Lantas, bagaimana dampak dua kebijakan fenomenal tersebut? Segmen siapa yang sebenarnya dirugikan? Siapa sebenarnya penikmat maskapai penerbangan?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement