REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bayu Adji P
Hampir setiap lima menit, pesawat dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta (BSH), Kota Tangerang, lepas landas. Bising suara mesin pesawat terdengar jelas. Namun, anak-anak tetap bermain seperti biasa seolah tak ada apa-apa.
Suara bising dan pemandangan pesawat yang baru lepas landas itu telah menjadi makanan sehari-hari bagi warga yang tinggal di RT 004/07, Kelurahan Selapajang Jaya, Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang. Bagi mereka, hal itu bukanlah pemandangan yang istimewa.
Sebagian besar masyarakat yang tinggal di lingkungan yang biasa disebut Kampung Selapajang itu berstatus kurang mampu. Tanah yang mereka tempati pun milik Pemerintah Kota (Pemkot) Tangerang. Bangunan yang mereka tinggali pun tak memiliki izin.
Salah satu tokoh kampung itu, Hasim (69 tahun) mengaku sudah tinggal di bataran irigasi itu sejak 1970-an. Saat itu, lokasi yang saat ini menjadi bandara gerbang masuk Indonesia masih berupa sawah. Sementara rumah-rumah di Kampung Selapajang masih berjumlah puluhan. Bandara Soekarno-Hatta baru resmi beroperasi pada 1985.
"Saya di sini sudah dari tahun 70an. Daripada lahan kosong pada waktu itu, karena kita orang nggak mampu ya dibangun saja," kata dia saat ditemui Republika, Selasa (12/2).
Sesekali perbincangan itu berhenti karena kalah keras dengan suara mesin pesawat yang melintas. Setelah suara pesawat hilang, perbincangan kembali dilanjutkan.
Meski tahu tanah yang ditinggalinya itu bukan miliknya, tapi sekalipun ia tak pernah disuruh pindah. Ia pun tak tahu nasibnya jika nantinya disuruh pindah oleh pemerintah.
Kampung Selapajang berada di bantaran irigasi. Sementara di belakangnya, proyek pembangunan jalan parimeter sedang dikerjakan. Beberapa rumah yang pernah berdiri di tempat itu sudah sudah kena gusur. Hanya tinggal 70 kepala keluarga (KK) yang masih tinggal di bantaran itu.
"Yang kena gusur itu tanah milik. Sementara kita belum tahu gimana. Katanya sih gak kena gusur," kata dia.
Ia mengatakan, warga di Kampung Selapang rata-rata hidup di bawah garis kemiskinan. Rumah-rumah yang berdiri di atas tanah negara itu rata-rata berbentuk semi permanen. Sebagian ada yang dinding rumahnya menggunakan tembok, tapi lebih banyak yang berdinding kayu atau anyaman bambu.
"Masyarakat di sini kerjanya serabutan. Kadang seminggu ada, kadang ada. Walaupun ada bandara, ya pada nganggur kebanyakan," kata dia.
Salah seorang warga Kampung Selapajang, Kania (46) mengakui, tanah yang ditempatinya saat ini memang bukan miliknya. Karena itu, sewaktu-waktu diusir, ia dan keluarga hanya bisa pasrah. Namun, ia berharap kalau pun tempat tinggalnya akan digusur, setidaknya keluarganya dapat ganti rugi untuk bangunan yang telah didirikannya.
Di rumah yang luasnya sekitar 30 meter persegi dan terbuat dari kayu itu, perempuan asal Karawang itu membuka warung. Ia menjajakan aneka makanan, cemilan, hingga kopi dan teh manis.
"Kalau saya nggak punya tempat lagi ya enak-enak saja (tinggal di sini). Mau ngontrak juga gak ada duit," kata perempuan yang telah tinggal di tempat itu sejak 1991 tersebut.
Ketua RT 004/07 Kelurahan Selapajang jaya, Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang, Masri (43) mengatakan, kehidupan masyarakat di kampungnya memang memprihatinkan. Hampir 99 persen warganya adalah pekerja serabutan.
"Bisa dibilang hampir semua pengangguran," kata dia di rumahnya.
Rumah Masri memiliki luas sekitar 40 meter persegi. Di bangunan yang berdinding anyaman bambu itu, ia tinggal bersama istri, anak, dan orang tuanya.
Sore itu, ia barus saja mengambil jatah beras untuk warganya. Beras itu berasal dari Dinas Sosial (Dinsos) Kota Tangerang. Satu KK berhak untuk mendapatkan 7 kilogram beras itu setiap bulannya. Selain beras, warga tak mampu juga mendapatkan bantuan telur 1 kilogram setiap satu bulan.
"Ketika turun bantuan dari pemerintah, itu sangat mendukung," kata dia.
Meski dapat bantuan dari pemerintah, ia mengaku tak pernah mendapat bantuan dari pengelola Bandara Soekarno-Hatta. Padahal, jarak kampung itu dengan pagar bandara tak sampai 50 meter.
"Memang kalau cerita terkait bandara, kita ini miris," kata dia.
Masri mengklaim, tak pernah sekalipun pengelola BSH memberikan bantuan langsung kepada masyarakat yang ada di Kampung Selapajang. Jangankan uang bising, kata dia, sekadar pekerjaan saja susah.
Ia bukan tak berupaya. Beberapa kali masyarakatnya diajak untuk mengirimkan lamaran ke pihak bandara, tapi selalu ditolak.
"Alasannya usia, tinggi badan, ijazah, nggak mendukung. Itu menurut saya kayak dibuat-buat. Maksud saya, adalah sedikit perhatian kepada masyarakat sekitar," kata dia.
Ia mengatakan, sebagai ketua RT, dirinya tak menuntut pekerjaan yang tinggi. Hanya sekadar agar masyarakat bisa menyambung hidup. Faktanya, hanya ada sekitar tiga orang dari kampungnya yang bekerja di bandara.
"Uang bantuan, uang bising, CSR juga nggak pernah masuk. Mereka mungkin berkilah ada, tapi nggak sampai ke (kampung) kita," kata lelaki yang lahir dan besar di kampung itu.
Selain itu, warga juga semakin was-was untuk hidup. Pasalnya, efek dari proyek pembanunan jalan parimeter juga berimbas kepada warga. Alat berat yang beroperasi, jalanan yang ngebul, hingga suara bising yang selalu terdengar.
Menurut dia, warga tak pernah diperhatikan. "Nggak ngaruh itu bandara. Baik sifatnya untuk masyarakat atau pribadi, gak pernah pengaruh untuk kesejahteraan kita," kata dia.
Ia mengaku, lahan yang ditempati warganya itu memang ilegal. Artinya mereka tak punya hak untuk tinggal di daerah itu. Namun, Pemkot Tangerang tak pernah mengusir warga dari tempat itu.
Jika memiliki uang, lanjut dia, masyarakat juga tak akan mau tinggal di tempat itu. Namun, lantaran hidup susah mereka seolah tak punya pilihan.
"Sebenarnya siapa yang gak mau hidup layak? Tapi kembali lagi, belum ada jalan. Kami sudah berusaha, ikhtiar. Kita ingin anak sekolah, kesehatan dijamin, bisa makan, hidup. Itu kita cukup senang," kata dia.