REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Pengarah Badan Pemenangan Nasional (BPN) mengkritisi sejumlah lembaga survei di Indonesia yang hasil surveinya kerap meleset terlalu jauh dari hasil sebenarnya. Ia menyarankan lembaga-lembaga survei tersebut sebaiknya meniru tradisi yang biasa dilakukan orang Jepang, yakni harakiri.
"Yang namanya lembaga survei harus ada akuntabilitas, kalau devisiasi kesalahannya terlalu besar kalau di Jepang itu harusnya kita kasih samurai, kita suruh harakiri lembaga survei itu," kata Fadli dalam diskusi bertajuk 'Jokowi blunder dan panik?' di Sekretariat Nasional (Seknas) Prabowo-Sandi, Menteng, Jakarta, Selasa (12/2).
Ia mencontohkan bagaimana Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama kerap diprediksi menang oleh sejumlah lembaga survei. Ternyata, Anies Baswedan justru yang terpilih sebagai gubernur DKI Jakarta pada PIlkada 2017.
Begitu juga yang terjadi di Jawa Tengah. Pasangan Sudirman Said-Ida Fauziyah yang sebelumnya diprediksi dengan elektabilitas rendah ternyata mendapatkan suara cukup tinggi di hasil hitung cepat versi KPU. Kendati demikian, Fadli tidak heran jika lembaga-lembaga survei tersebut kerap dijadikan alat kampanye.
"Kita tahulah lembaga survei di Indonesia jadi alat kampanye, ada yang terang-terangan declare ada yang sembunyi-sembunyi," ungkapnya.
Menurutnya harus ada regulasi untuk mengatur lembaga-lembaga survei yang ada di Indonesia. Sebab, menurutnya, lembaga survei saat ini banyak lembaga survei yang hanya dijadikan alat kampanye oleh pihak-pihak tertentu.
"Misalnya ya ada urusan pajak segala macam, jadi harus ada regulasi supaya ini tidak dijadikan alat kampanye," ucapnya.