Selasa 12 Feb 2019 17:20 WIB

Istana Tanggapi Soal LRT Palembang dan Tol Trans-Jawa

Pembangunan infrastruktur harus menggunakan perencanaan jangka panjang.

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Muhammad Hafil
Kepala Staf Kepresidenan Jenderal (Purn) Moeldoko di Ballrom Hotel Kempinski, Jakarta, Sabtu (19/1).
Foto: Republika/Bayu Adji P
Kepala Staf Kepresidenan Jenderal (Purn) Moeldoko di Ballrom Hotel Kempinski, Jakarta, Sabtu (19/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Istana Presiden ikut buka suara soal isu subsidi untuk operasional lintas rel terpadu (LRT) Palembang di Sumatra Selatan dan isu mahalnya tarif tol Transjawa. Isu ini muncul ke permukaan belakangan ini, setelah Badan Pemenangan Nasional (BPN) paslon nomor urut 02, Prabowo-Sandiaga, mengungkapkan biaya operasional LRT Palembang yang melambung tinggi, jauh di atas pendapatannya.

Pemerintah sendiri mengonfirmasi adanya subsidi hingga Rp 1,2 triliun untuk menekan tarif LRT hingga Rp 3 ribu - Rp 5 ribu per orang.  Masyarakat juga mengeluhkan soal mahalnya tarif tol Transjawa. Pengendara harus menanggung beban tarif tol Trans Jawa yang untuk golongan I mencapai Rp 600 ribu.

Harga itu untuk perjalanan dari Jakarta menuju Surabaya. Persoalan bengkaknya biaya operasional LRT Palembang dan mahalnya tarif melintas tol Transjawa menantang pemerintah menjawab pertanyaan soal perencanaan pembangunan.

Kepala Staf Presiden, Moeldoko, menjelaskan bahwa pembangunan infrastruktur di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bukan berprinsip RBT alias Rencana Bangun Tidur. Membangun infrastruktur, menurut Moeldoko, harus menggunakan perencanaan jangka panjang, bukan selintas jangka pendek soal untung rugi.

"Jadi kita lihat kepentingan masa depan, dengan pertimbangkan populasi, tingkat pendidikan masyarakat, tingkat masyarakat menengah ke atas yang semakin banyak. Jangan bilang, ah ini tidak ada gunanya. Justru ini untuk masa depan," kata Moeldoko di kantornya, Selasa (12/2).

Bicara soal LRT Palembang, Moeldoko juga menyindir pimpinan daerah di Palembang dan Sumatra Selatan untuk bisa turun tangan mencarikan solusi. Jangan sampai, ujar Moeldoko, Pemda mengeluh ketika belum ada infrastruktur dan tetap mengeluh ketika sudah terbangun infrastruktur.

"Pemda berupaya. Jangan sudah dibangunkan ngoceh. Dia harus berupaya maksimal bagaimana utilitas sebuah infrastruktur itu bisa berdaya guna dengan baik," kata Moeldoko.

Bicara soal biaya operasional LRT Pelembang yang menyentuh angka Rp 10 miliar, Moeldoko melihat bahwa adanya efisiensi transportasi memiliki nilai balik lebih tinggi ketimbang biaya yang dibayarkan. Menurutnya, biaya ini akan sepadan ketika penggunaan LRT Palembang optimal di masa depan saat orang-orang sepenuhnya memanfaatkan transportasi massal.

"Kan bisa dilihat setelah kesadaran masyarakat untuk gunakan berikutnya, ada efisiensi. Maka Pemda perlu berikan sosialisasi sehingga infrastruktur yang ada bisa termanfaatkan dengan baik," katanya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement