Selasa 12 Feb 2019 13:35 WIB

PSI Usulkan Penghapusan SKB Menteri Soal Tempat Ibadah

PSI menilai aturan ini membatasi hak konstitusi orang dalam kebebasan beragama.

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Muhammad Hafil
Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia, Grace Natalie.
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia, Grace Natalie.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie mengkhawatirkan adanya pelarangan, perusakkan atau penghalangan pendirian rumah ibadah. Dia mengatakan, penutupan itu bertentangan dengan konstitusi yang menjamin kebebasan beragama.

Grace menjelaskan, di Indonesia sebenarnya hak beragama dan beribadah menurut keyakinan masing-masing dijamin oleh konstitusi dalam Pasal 28 E yang berbunyi 'Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya….'.

Grace mengatakan, PSI akan mendorong deregulasi aturan mengenai pendirian rumah ibadah. Dia melanjutkan jika partai besutannya itu akan mendorong penghapusan peraturan Surat Keputusan Bersama (SKB) menteri mengenai pendirian rumah ibadah untuk mencegah adanya penutupan rumah ibadah secara paksa.

"Peraturan Bersama Menteri mengenai pendirian rumah ibadah, menurut Komnas HAM, pada praktiknya membatasi prinsip kebebasan beragama," kata Grace Natalie dalam keterangan resmi di Jakarta, Selasa (12/2).

Hal ini disampaikan Grace di Festival 11 Yogyakarta yang bertempat di Grha Pradipta Jogja Expo Center pada Senin, (11/2). Acara dihadiri oleh sekitar 2.000 peserta yang terdiri dari pengurus, kader, dan simpatisan PSI.

Grace mengungkapkan, ironisnya, laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia 2017 justru mengungkapkan salah satu persoalan hak asasi paling menonjol selama lima tahun terakhir adalah terkait tindakan pelarangan, perusakkan atau penghalangan pendirian rumah ibadah di Indonesia.

Menurut Grace, aturan itu justru dipakai untuk membatasi bahkan mencabut hak konstitusional dalam hal kebebasan beribadah. Grace memaparkan, selama sebelas tahun terakhir, terdapat 378 gangguan terhadap rumah ibadah di seluruh Indonesia menurut SETARA Institute.

Dia melanjutkan, situasi memakin memburuk karena pejabat, birokrat, dan politisi daerah memanfaatkan menguatnya sentimen SARA dengan cara menormalisasi sikap intoleran masyarakat, dengan cara mengeluarkan kebijakan yang dianggap bisa memihak pada umat tertentu saja.

"Saya ingin menegaskan kembali, bila partai ini diberi amanah, PSI akan berjuang agar tidak ada lagi penutupan rumah ibadah secara paksa! PSI akan bertindak dan berbicara atas dasar konstitusi. Kami ingin hak-hak dasar ini dipenuhi dan dijalankan secara penuh, tanpa syarat," kata Grace.

Dikutip dari pemberitaan Republika.co.id berjudul 'Menag: Taati Aturan Pendirian Rumah Ibadah' pada 13 November 2015, disebutkan bahwa rujukan aturan pendirian rumah ibadah adalah PBM (Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri) Nomor 8 dan 9 Tahun 2006. Jadi, di situ jelas dinyatakan bagaimana tata cara, mekanisme, dan prosedur pendirian rumah ibadah.

Menurut komisioner Komnas HAM saat itu, Maneger Nasution, risalah perumusan PBM itu disepakati oleh majelis-majelis agama di Indonesia, seperti MUI, PGI, KWI, PHDI, Walubi, dan Matakin. Tokoh-tokoh agama itu melakukan rapat belasan kali, dan memakan waktu lebih dari empat bulan untuk merumuskannya. Setelah ada konsensus atau kesepakatan dari tokoh-tokoh agama itu, kemudian negara, khususnya Kemenag dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) meregister dalam administrasi negara.

Sebelumnya, PSI juga mengusung wacana-wacana yang menuai kontroversi. Di antaranya yaitu, menggagas larangan berpoligami bagi pejabat publik dan Aparatur Sipil Negara (ASN). Hal itu dilakukan guna memperjuangkan keadilan bagi perempuan Indonesia.

Kemudian, PSI juga menyatakan menolak peraturan daerah (perda) yang terkait dengan aturan agama. Yaitu, perda terkait injil dan syariah. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement