Senin 11 Feb 2019 22:59 WIB

Tol Trans Jawa, Bukan Jalan Gratisan

Mahalnya tol Trans Jawa dikeluhkan masyarakat, termasuk para pengusaha logistik.

Friska Yolandha
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Friska Yolanda*

Sebulan terakhir, masyarakat disibukkan dengan kenaikan harga tiket pesawat yang hampir dua kali lipat. Selain itu, penumpang pun harus dibebankan tarif bagasi pesawat sejumlah maskapai.

Belum selesai persoalan tarif bagasi, kini masyarakat juga harus menanggung beban tarif tol Trans Jawa yang untuk golongan I mencapai Rp 600 ribu. Harga itu untuk perjalanan dari Jakarta menuju Surabaya.

Tak hanya masyarakat biasa yang mengeluhkan mahalnya harga tol ini, pengusaha logistik pun menyatakan keberatannya. Pengusaha logistik rata-rata menggunakan kendaraan besar yang tarif tolnya bisa mencapai Rp 1,3 satu kali jalan. Ini baru tarif tol, belum bahan bakar, makan sopir dan kondektur serta dana cadangan kalau ada apa-apa di jalan.

Pokok perjalanan satu kendaraan pun menjadi membengkak. Akibatnya, banyak truk angkutan logistik yang akhirnya kembali ke Pantura. Daripada harus bayar mahal lewat jalan tol, lebih baik lewat jalan biasa, sekalian cuci mata banyak tempat makan.

Mengapa tarif tol begitu mahal? Alasannya sederhana. Investasi yang dikeluarkan juga mahal. Coba hitung, berapa triliun dana yang dihabiskan untuk membangun jalur Trans Jawa, dari ujung Banten sampai ke Jawa Timur. Pengelola jalan tol tentu sudah berhitung dengan rumus tertentu untuk mendapatkan nilai yang dirilis ke masyarakat.

Berdasarkan data dari Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT), nilai investasi yang dikucurkan untuk jalur Trans Jawa mulai dari Pejagan hingga Pasuruan mencapai Rp.68,2 triliun. Nilai ini belum termasuk Cikampek yang sudah beroperasi terlebih dulu.

Tingginya investasi ini menjadi salah satu pertimbangan BPJT dalam menentukan tarif. Selain itu, perusahaan pengelola tol juga perlu untung untuk tetap menggaji karyawan mereka. Di luar itu, pengelola jalan tol juga perlu berhitung biaya pemeliharaan jalan. Jadi, harga yang diberikan kepada pengguna jalan tol bukan sekadar corat-coret di atas kertas, melainkan ada rumusnya.

Bagi kita masyarakat umum (yang tinggal di Pulau Jawa) punya banyak pilihan untuk berpindah dari satu daerah ke daerah lain. Kalau mau cepat dan kilat, bisa pakai angkutan pesawat. Kalau ingin selow dan ramai-ramai, bisa menggunakan bus atau bawa kendaraan sendiri.

Bagi pengusaha, terutama jasa logistik, mereka punya banyak pertimbangan untuk memilih moda transportasi terbaik. Mereka kini seperti judul film Warkop DKI, 'Maju Kena, Mundur Kena'. Pakai jalur darat, tarif tol mahal. Kalau pakai jalur Pantura, waktu yang diperlukan lebih lama. Kalau pakai angkutan kargo pesawat, harganya mahal. Pakai kereta khusus logistik? Ribet. Pengusaha tetap memerlukan angkutan truk untuk memindahkan barang dari gudang ke stasiun. Ibaratnya, mereka kerja dua kali. Jadi pilihan ini dihindari pengusaha kecuali PT Kereta Api Indonesia mau membangun jalur ke kawasan industri.

Pengelola jalan tol mestinya bisa melonggarkan kebijakan tarif tolnya dengan sedikit lebih inovatif. Misalnya, BPJT memberikan voucher diskon sekian persen bagi kendaraan yang 10 kali melalui jalur tol Trans Jawa. Atau potongan harga tarif bagi kendaraan yang sudah melewati jalur tertentu sepanjang sekian ratus kilometer. Atau, BPJT memberi potongan harga setiap pengguna tol pada hari atau jam tertentu dengan waktu dan jumlah terbatas.

Dengan promo-promo menarik, pengguna tol tentu akan tertarik menggunakan jalan tol daripada macet-macetan di jalur Pantura yang lebarnya takkan pernah bertambah. Siapa sih yang tidak suka diskon?

*) Penulis adalah redaktur republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement