Senin 11 Feb 2019 05:01 WIB

Gambus, Bimbo, Sarung, Nisa Sabyan: Islam Radikal Bangkit?

Selera musik dan budaya disalahkaprahi sebagai sikap fundamentalis

      Nisa bersama Grup Musik Sabyan Gambus menyanyikan lagu saat konser Indonesia Sejuk di Ecopark Ancol, Jakarta, Sabtu (3/11) malam.
Foto: Republika/Prayogi
Nisa bersama Grup Musik Sabyan Gambus menyanyikan lagu saat konser Indonesia Sejuk di Ecopark Ancol, Jakarta, Sabtu (3/11) malam.

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Pada suatu hari di Ball Room Hotel Hilton (kini Hotel Sultan) Jakarta seorang wartawati mengacungkan tangan sembari bertanya menggebu-gebu kepada mendiang DR Nurcholish Madjid soal musik dan wajah kecenderungan budaya Islam yang disebut penuh dengan kaum fundamentalis alias radikal serta ke Arab-araban. Tentu saja dia mengkaitkan semua itu tentang meluasnya kekerasan yang dilakukan sebagian umat Islam seperti yang banyak lekat disebut dalam berbagai media massa lokal maupun internasional..

 “Ada organisasi Islam di Indonesia yang tua. Yang satunya orientasi Islam ke Arab-araban yang satunya tidak. Yang satunya lebih toleran dan yang satunya terkesan tidak. Dalam hal ini dia mencontohkan NU sebagai sebagai lebih toleran dan Muhammadiyah yang dia sebut sebagai tidak karena ‘ke Arab-Araban’,’’ kata si wartawati yang diam-diam saya sering menjumpainya di halte Bus Way. Perstiwa itu meski sudah bertahun-tahun silam,  tapi saya catat betul dalam benak dan jadi bahan renungan sampai hari ini.

Diserbu pertanyaan itu, mendiang DR Nurcjolish Madjid (Cak Nur) terlihat sedikit terhenyak. Namun dia menanggapinya dengan senyum-senyum dengan kata manis dan mengutip di sana-sini berbagai kazanah pemikiran dunia yang diselingi berbagai kutipan litelatur dalam berbagai bahasa baik Arab, Inggris, Parsi, hingga Prancis dengan fasih. Di situ saya juga terpana karena Cak Nur mengucapkannya di luar kepala.

‘’Lho apa jadi lucuan betul ya Mbak. Saya lihat malah NU justru yang ke Arab-araban dan Muhammadiyah justru yang ke barat-baratan. Jadi tudingan pemikiran anda malah terbalik. Lihat saja pada kecenderungan fesyen dan budaya kedua ormas ini. Lagi pula apa ukuran anda melihat itu semua sebagai sesutau yang radikal? Sebab, radikal bisa ditimbulkan oleh sebab apa pun, tak hanya berasal dari agama, tapi bisa idelogi, hukum, hingga soal ekonomi dan politik. Dalam Islam (Alquran) itu ada kalimat ‘La syarbiyah wala gharbiyah’ (tidak di barat atau di timur),’’ kata Nurcholish ringan sembari tetap setengah berfilsafat.

Tak cukup dengan itu, Cak Nur kemudian memberi contoh dengan mudah bahwa anggapan itu ‘keblinger’ adanya.Lihat saja misalnya pada fesyen orang NU (para kiai NU) yang gemar pakai jubah dan turban. Itu jelas malah ke Arab-araban. Musiknya pun musik arab, yakni kasidah atau gambus.

‘’Nah sekarang lihat kepada ekpresi budaya orang Muhammadiyah itu malah mengenakan pakaian ala barat. Sekolahnya model klasikal ala barat.  Musiknya pakai musik barat atau berirama latin ala lagu grup Bimbo. Dan lalu apa keduanya Islam radikal,’’ tukas Nurcholish Madjid seraya mencontohan lagi ketidakpahaman sebagian orang mengenai klaim budaya sarung hingga baju koko sebagai pakaian Islami, padahal itu pakain keseharian orang Mynmar dan Cina.

Bahkan khusus untuk penggunaan sarung (di Mynmar disebut Longyi), pernah rekan penulis alami langsung. Dalam kunjungan ke Mynmar dalam kasus Rohingnya, kala itu dibawa bantuan dari Palang Merah Indonesia yang diketuai Jusuf Kalla. Ada satu kontainer penuh bantuan berisi berupa kain sarung.

Uniknya, warga di sana —tak hanya yang Muslim— semua menyambut gembira dan antusias atas datangnya bantuan itu. Setiap kali merima bungkusan kain itu, mereka menciumi dan mengelus-elus sarung asal Pekalongan yang menurutnya sangat berkualitas itu. Mata mereka berbinar sebab keseharian warga Mynmar memang pakai sarung ke manapun pergi. Bahkan, baju nasional mereka pakai fesyen yang mirip orang ‘Jawa’ mengenakan Sarung.

Nah perkara itulah yang sering disalahpahami sebagai klaim mana itu ke Arab-araban, ke Barat-baratan, mana yang radikal dan fundamentalis, atau malah sebaliknya. Ini semua persis dengan cerita mengenai sepatu kaca puteri Cinderalla dalam episode sepatu yang tertukar. Banyak orang yang menyangka kepunyaannya, padahal itu milik orang lain layaknya dua saudara tiri Cinderalla ketika mengaku sepatu kaca yang dibawa oleh sang pangeran dari Istana sebagai kepunyaannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement