Senin 11 Feb 2019 12:24 WIB

Jurnalis Hadapi Ancaman di Media Sosial

Sejumlah jurnalis mengalami persekusi online karena pemberitaan.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Friska Yolanda
Sejumlah jurnalis melakukan aksi solidaritas menolak kekerasan terhadap wartawan di depan kantor Mapolresta Bogor Kota, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (2/6).
Foto: Antara/Yulius Satria Wijaya
Sejumlah jurnalis melakukan aksi solidaritas menolak kekerasan terhadap wartawan di depan kantor Mapolresta Bogor Kota, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (2/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menyambut Hari Pers Nasional pada 9 Februari, para jurnalis di Indonesia masih harus menghadapi berbagai ancaman seperti upah yang rendah dan kondisi kerja yang buruk, gaji yang telat dibayar serta serangan fisik. Namun selain serangan fisik, laporan terbaru menunjukkan bahwa penganiayaan terhadap jurnalis juga mulai terjadi di media sosial. 

"Tahun ini kami mencatat beberapa kasus penganiayaan terhadap jurnalis di media sosial. Jenis ancaman baru ini akan menjadi tantangan besar dan juga ancaman serius di masa depan kebebasan pers kita," kata Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Abdul Manan dalam laporan survey kebebasan media di Asia Tenggara 2018 bertajuk “Underneath the Autocrats” yang digagas oleh International Federation of Journalists dan Serikat Jurnalis Asia Tenggara (South East Journalist Unions/SEAJU). 

Riset ini didukung oleh United Nations Organization for Education, Science and Culture (UNESCO) dan melibatkan hampir 1.000 jurnalis dan pekerja media dari 7 negara, yaitu Indonesia, Kamboja, Filipina, Malaysia, Thailand, Myanmar, dan Timor Leste. Sebanyak 81 persen dari total responden menyebutkan situasi media di negara mereka tidak mengalami perbaikan dan justru memburuk.

Dari sebanyak 405 jurnalis Indonesia yang berpartisipasi dalam survei, 80 orang mengkhawatirkan serangan fisik oleh publik saat bekerja, dan ini merupakan ancaman ketiga terbesar yang dihadapi oleh para wartawan di Indonesia saat ini. Abdul mengatakan serangan fisik masih merupakan jenis kekerasan yang paling umum dihadapi oleh wartawan di negara ini. Data AJI Indonesia menunjukkan setidaknya terdapat 64 kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi pada sepanjang tahun 2018, naik dari 60 kasus di 2017. 

Kekerasan terhadap jurnalis paling banyak terjadi pada 2016 sebanyak 81 kasus dan paling rendah 39 kasus pada 2009. Peristiwa yang dikategorikan sebagai kekerasan itu meliputi pengusiran, kekerasan fisik, hingga pemidanaan terkait karya jurnalistik. 

"Menurut pendapat kami, sejumlah besar kasus kekerasan juga berkontribusi pada budaya imunitas, di mana pelaku kekerasan tidak pernah diproses dengan baik oleh hukum, sehingga orang tidak takut dan tidak terhalang untuk melakukan hal yang sama di masa depan," ujar Abdul.

Dia menambahkan meskipun kebebasan pers di Indonesia relatif baik dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, AJI melihat tren tekanan yang meningkat pada jurnalis dan media. 

Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia Sasmito menambahkan, pada 2018 lalu, AJI mencatat jenis kasus kekerasan baru yang berpotensi menjadi tren mengkhawatirkan di masa mendatang. Tren baru itu berupa pelacakan dan pembongkaran identitas jurnalis yang menulis berita atau komentar yang tak sesuai aspirasi politik pelaku, lalu menyebarkannya ke media sosial untuk tujuan negatif. AJI mengkategorikannya sebagai doxing, atau persekusi secara online.

AJI mencatat setidaknya terdapat tiga kasus persekusi online yang menimpa jurnalis kumparan.com dan detik.com. Jurnalis kumparan.com dipersekusi karena tidak menyematkan kata 'habib' di depan nama Rizieq Shihab dalam beritanya. 

Jurnalis detik.com dipersekusi terkait berita tentang pernyataan juru bicara Persaudaraan Alumni 212 Novel Bamukmin dan saat meliput peristiwa yang disebut “Aksi Bela Tauhid” 2 November 2018. Jurnalis kumparan.com mendapat ancaman di akun instagramnya setelah medianya menerbitkan liputan khusus berjudul 'Menjinakkan Rizieq'.

“AJI mendesak pihak aparat agar dapat mengidentifikasi jenis kekerasan baru ini. Supaya para pelaku dapat dijerat juga dengan menggunakan UU Pers,” jelas Sasmito.

Kemudian hal lain yang juga merisaukan bagi kebebasan pers adalah masih adanya pasal-pasal yang bisa mempidanakan jurnalis. Selama ini setidaknya ada dua regulasi utama yang bias mempidanakan jurnalis, yaitu KUHP dan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang direvisi menjadi UU Nomor 19 Tahun 2016. 

Pada tahun lalu, juga ada dua langkah legislasi Pemerintah dan DPR yang cukup merisaukan, yaitu yaitu amandemen Undang-Undang MD3 yang disahkan dalam sidang paripurna DPR 12 Februari 201823 serta revisi Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement