Jumat 08 Feb 2019 06:13 WIB

Moderasi Beragama

Banyak faktor menyebabkan munculnya gerakan ekstrem keagamaan. Apa saja?

Ilustrasi keberagaman dan persatuan.
Foto: Republika/Yasin Habibi
Ilustrasi keberagaman dan persatuan.

Oleh: Hilmi Muhammadiyah, Pegawai Kementerian Agama/Peneliti pada Lembaga Studi Agama dan Sosial

Ketika Allah SWT berkehendak menciptakan manusia dari segumpal tanah, malaikat tiba-tiba melakukan protes dengan mengatakan, mengapa Allah menciptakan makhluk yang suka berbuat kerusakan dan melakukan pertumpahan darah.

Lalu, Allah menjawab, ’’Aku (Allah) lebih mengetahui dibandingkan engkau, malaikat,"(QS Al-Baqarah: 30). Manusia diciptakan untuk menyembah Allah dengan mengemban tugas sebagai khalifatun fil ardh, wakil Tuhan di bumi untuk menjadi rahmat bagi semesta.

Dari dialog tersebut tergambar, dari sisi pemikiran dan pandangan malaikat tentang manusia, manusia sejak awal dipandang memiliki potensi berbuat jahat. Sedangkan Allah memandang, manusia memiliki potensi kepemimpinan dan berbuat kebajikan.

Faktanya, dalam kehidupan sehari-hari, potensi manusia berbuat jahat dan kebajikan saling berpacu. Namun, tidak dapat dimungkiri pula, sesungguhnya manusia memiliki naluri berbuat kebajikan, tolong-menolong dalam kebaikan.

Sebagian besar manusia selalu ingin bermanfaat bagi orang lain, di luar diri dan keluarganya. Bertikai bukanlah sifat dasar manusia. Potensi negatif muncul saat terpengaruh bisikan setan ketika ego dan nafsunya ingin berkuasa dan menonjolkan kelompoknya.

Dalam hal ini, terkadang seseorang (kelompok) bersikap dan berperilaku ekstrem (fanatik), dalam pemahaman dan pengamalan agama dikenal dengan kelompok ekstrem kanan dan ekstrem kiri.

Kedua kelompok ini tidak akan pernah mampu memosisikan diri sebagai khalifatun fil ardh, terlebih lagi menjadi rahmat bagi segenap alam. Sebaliknya, justru dapat menjadi perusak alam dan tatanan kehidupan sosial yang terbentuk lewat asas Pancasila.

Manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal (QS Al-Hujurat: 13). Seperti halnya Indonesia, negeri yang sangat beragam suku, ras, budaya, bahasa, agama, dan lain sebagainya. Meski beragam, Indonesia tetap satu.

Keragaman di Indonesia merupakan kekayaan dan keindahan bangsa. Dasar negara inilah yang mempersatukan keberagaman tadi, termasuk keberagaman dalam memeluk agama dan dalam mengamalkan ajaran agama yang dianutnya.

Dengan demikian, pemerintah harus bisa mendorong keberagaman tersebut menjadi suatu kekuatan untuk bisa mewujudkan persatuan dan kesatuan nasional menuju Indonesia yang lebih baik.

Di Indonesia, dalam mengayomi umat beragama dan pembinaan umat memahami dan menjalankan ajaran agama, posisi dan fungsi Kementerian Agama (Kemenag) sangat strategis.

Di sinilah Kemenag harus mampu memosisikan diri di tengah-tengah keragaman agama dan penganutnya, sekaligus menjadi penengah dalam wujud moderasi dari dua kelompok ekstrem kanan dan ekstrem kiri.

Pada pembukaan Raker Kerja Nasional (Rakernas) Kementerian Agama akhir Januari 2019 di Jakarta, Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin memerintahkan jajarannya agar dalam menjalankan tugas memegang tiga mantra.

Mantra pertama, moderasi beragama. Mantra kedua terkait kebersamaan. Mantra ketiga, agar pejabat Kemenag mampu meningkatkan kualitas pelayanan kepada umat beragama.

Terkait mantra pertama, Menag menegaskan, pada dasarnya semua agama mengajarkan moderasi. Tuhan menurunkan agama melalui nabi untuk menjaga harkat dan martabat manusia yang harus dilindungi sesuai konteks kemanusiaan.

Indonesia memang bukan negara Islam. Namun, Indonesia mengakui adanya enam agama dan memberi hak kepada setiap pemeluknya melaksanakan ibadah dan ajarannya. Jadi, Indonesia pada dasarnya, memegang moderasi beragama sejak dulu.

Kita jarang menemukan ada negara begitu kental dan kuat nilai-nilai agama ikut memengaruhi kehidupan masyarakatnya. Nilai-itu menjadi landasan utama dan pijakan dasar dalam kemajemukan kita menjalani kehidupan bersama.

Kemenag sebagai wakil pemerintah dalam mengejawantahkan moderasi beragama, berkepentingan dalam menjaga keutuhan bangsa yang beragam ini. Program berkesinambungan dan terukur itu, selain dapat dilakukan melalui lembaga formal di bawah naungan Kemenag, seperti madrasah, perguruan tinggi, dan KUA juga dapat bekerja sama dengan ormas NU dan Muhammadiyah.

Selain dua ormas tersebut, tidak menutup juga ormas keagamaan lainnya dalam rangka peningkatan pemahaman dan kesadaran pentingnya memahami moderasi dan keberagaman dalam memelihara NKRI.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement