REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perayaan Imlek di Indonesia tidak lepas dari sosok Presiden RI Ke-4 Abdurrahman Wahid atau yang kerap disapa Gus Dur. Tanpa Gus Dur, tidak ada perayaan Imlek dan Cap Go Meh setiap tahunnya.
“Tanpa Gus Dur tidak ada Imlek dan Cap Go Meh dirayakan secara terbuka, tanpa Gus Dur tidak ada barongsai dan naga turun ke jalan, tidak ada bahasa mandarin diajarkan di sekolah-sekolah bahkan di pesantren,” ujar Anggota DPR Daniel Johan, dalam keterangannya, Kamis (7/2).
Gus Dur dinilai sebagai sosok yang melepaskan kekangan warga etnis Cina selama puluhan tahun. Warga Cina kini bisa mengekspresikan kebebasannya merayakan Imlek atau Tahum Baru Cina dan Cap Go Meh setelah pelarangan perayaan dicabut Gus dur.
Saat menjadi Presiden RI, Gus Dur mencabut Inpres No. 14/1967 karena bertentangan dengan UUD 1945. Sebelum dicabut, Inpres tersebut selama puluhan tahun mengekang warga etnis Cina sehingga tak bisa bebas melaksanakan budayanya termasuk merayakan Imlek dan Cap Go Meh secara terbuka.
Menurut Daniel yang juga Wakil Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), hal itu melandasi PKB sebagai satu-satunya partai politik yang tidak pernah absen menyambut Imlek. Pasalnya, kata dia, perayaan Imlek adalah salah satu wujud penolakan terhadap bentuk diskriminasi.
“Gus Dur dan PKB adalah pencetus sejarah Imlek di Indonesia, sebagai upaya mengakhiri diskriminasi yang ada saat itu,” kata dia.
Daniel menambahkan, langkah Gus Dur tidak lepas dari keinginannya mengayomi semua umat beragama dan suku bangsa di Indonesia. Sehingga, sejumlah keputusan yang menjadi titik besar di republik ini pun diambil, misalnya perayaan imlek tersebut.
“Setelah mencabutnya, Gus Dur menerbitkan Keppres No. 6/2000 yang menjamin warga Tionghoa dapat menjalankan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadatnya secara terbuka,” katanya menambahkan.