Selasa 05 Feb 2019 23:28 WIB

Ketua TKN: Kubu Prabowo-Sandi Menggoreng Seakan Jokowi Panik

Ketua TKN membantah Jokowi mulai ofensif karena sedang panik.

CEO Mahaka Group Erick Thohir menyampaikan pidato pembukanya bertema “Stabilitas Politik Menjelang Pilpres 2019 dan Strategi Menghadapi Revolusi Industri 4.0” pada acara Infobank 3th 100 Fastest Growing Companies Award di Jakarta, Kamis (31/1).
Foto: Darmawan / Republika
CEO Mahaka Group Erick Thohir menyampaikan pidato pembukanya bertema “Stabilitas Politik Menjelang Pilpres 2019 dan Strategi Menghadapi Revolusi Industri 4.0” pada acara Infobank 3th 100 Fastest Growing Companies Award di Jakarta, Kamis (31/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beberapa pihak menilai pidato-pidato calon presiden (capres) nomor urut 01 Joko Widodo (Jokowi) semakin keras, dan tak segan menyerang lawan politiknya. Bahkan, kubu Prabowo-Sandi menilai Jokowi saat ini sedang panik, karena elektabilitas pasangan capres-cawapres nomor urut 02 semakin mendekati capres pejawat.

Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-KH Maruf Amin, Erick Thohir menilai kubu Prabowo-Sandi berusaha menggoreng seakan-akan Jokowi panik. Erick mengatakan, justru jika mengacu pada fakta, selisih suara Jokowi-Maruf dan Prabowo-Sandi masih berada dikisaran 20 persen. Hal itu mengacu dari berbagai hasil lembaga survei, sementara yang mengatakan elektabilitas Jokowi mulai terkejar oleh Prabowo hanya dari dua lembaga survei saja, yakni Median dan Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis).

"Kita harus lihat track record. Kita harus berkaca pada lembaga survei yang asosiasinya masuk ke KPU. Jadi lembaga survei yang diakui KPU itu memberi data kedua paslon itu bedanya masih 20 persen," kata Erick, pengusaha muda pendiri Grup Usaha Mahaka itu, Selasa (5/2).

Sebagai pengingat, pada 2014, Dewan Etik Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) memutuskan untuk mengeluarkan Jaringan Suara Indonesia (JSI) serta Pusat Studi Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis) dari keanggotaan Persepi. Pangkal masalahnya, kedua lembaga tak bisa mempertanggungjawabkan publikasi hasil hitung cepat Pilpres 2014 bahwa Prabowo-Hatta unggul dengan selisih 1%-2% suara.

"Nah, kalaupun survei Median dan Puskaptis itu hendak diakui, jika dihitung rata-rata selisih elektabilitas Jokowi dan Prabowo masih di angka 15 hingga 18 persen. Semuanya dengan kemenangan Jokowi-KH Ma'ruf Amin. Sehingga aneh bila disebut Jokowi-Ma'ruf panik. Yang terjadi seharusnya adalah sebaliknya," tegasnya.

"Intinya, kalau dikatakan Jokowi panik karena survei, jawabannya tidak," ucapnya menambahkan.

Sedangkan soal terminologi ofensif, Erick mengakii bahwa dirinya pernah bicara bahwa Tim Jokowi-KH Ma'ruf sudah saatnya ofensif. Pernyataan dikeluarkan saat rapat koordinasi tim hukum TKN, yang dihadiri Yusril Ihza Mahendra. Konteks ofensif itu adalah pihak Jokowi-Ma'ruf sering dilaporkan ke Bawaslu tanpa data akurat oleh pihak lawan.

"Jadi saya katakan, sudah selayaknya tim hukum kita ofensif melaporkan dengan fakta dan data," kata pria yang sukses memimpin penyelenggaran Asian Games 2018 di Jakarta itu.

Masalahnya kemudian, pihak lawan langsung memelintir. Ketika tim hukum melakukan pelaporan berdasarkan data dan fakta yang ditindaklanjuti secara serius oleh aparat, langsung diisukan telah terjadi kriminalisasi. "Mereka tak bisa membedakan kriminalisasi dengan penegakan atas fakta hukum. Ini perlu saya tegaskan supaya fair dulu ya," jelasnya.

Jokowi sendiri, dalam beberapa hari terakhir, sebenarnya hanya menyampaikan isi hatinya. Bahwa isu yang ada selama ini sebenarnya terbalik-balik. Ketika sebagai petahana Jokowi dituduh melakukan kriminalisasi, yang terjadi sebenarnya adalah Jokowi dizalimi. Yakni dengan dicap sebagai antek asing, PKI, antek aseng, dan lain-lain. Dan semua penzaliman itu sudah dimulai sejak 2014 dengan terbitnya Obor Rakyat.

"Jadi kalau sekarang beliau menjawab, itu lumrah. Sebab kalau tak menjawab, nanti fitnah itu dianggap benar. Anehnya, ketika beliau menjawab, dikatakan beliau panik dan ketakutan. Justru beliau sedang menyampaikan data dan fakta, yang selama ini diputarbalikkan," kata Erick.

"Contoh saja, soal konsultan asing. Di media sosial sudah ada buktinya keberadaan orang asing di belakang BPN. Propaganda Rusia itu yang dimaksud adalah konsultan asing yang dipakai. Dan kita tahu, beliau lebih tahu, konsultannya bukan satu atau dua saja. Dari negara lain juga ada," beber Erick nenambahkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement