Selasa 05 Feb 2019 19:17 WIB

Lima Calon Hakim MK dari DPR Diduga Belum Pernah Lapor LHKPN

Jubir MK menyatakan sebaiknya calon hakim MK merupakan orang yang taat hukum.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Muhammad Hafil
Koordinator Divisi Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S. Langkun bersama Peneliti Kode Inisiatif Ihsan Maulana, Anggota Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI) Era Purnama Sari, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Arif Maulana (dari kiri) memberikan paparan saat rilis seleksi Mahkamah Konstitusi (MK) di Kantor LBH Jakarta, Selasa (5/2).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Koordinator Divisi Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S. Langkun bersama Peneliti Kode Inisiatif Ihsan Maulana, Anggota Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI) Era Purnama Sari, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Arif Maulana (dari kiri) memberikan paparan saat rilis seleksi Mahkamah Konstitusi (MK) di Kantor LBH Jakarta, Selasa (5/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setidaknya ada lima dari 11 calon hakim MK yang diseleksi DPR diduga belum pernah melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Karena itu, DPR diminta meminta masukan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam pemilihan calon hakim MK.

"Koalisi meminta DPR untuk meminta masukan KPK dan PPATK terhadap ketaatan calon dalam melaporkan kekayaannya dan kewajaran transaksi keuangan calon," ujar Ihsan Maulana, perwakilan dari Kode Inisiatif yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Selamatkan Mahkamah Konstitusi (MK), di Jakarta, Selasa (5/2).

Pada konferensi pers tersebut ia mengatakan, dari 11 calon hakim konstitusi, sembilan di antaranya diwajibkan untuk melaporkan LHKPN kepada KPK. Tapi, berdasarkan penelusuran, lima orang dari calon tersebut tidak pernah melaporkan kekayaannya kepada komisi antirasuah itu.

"Bahkan, dari lima orang calon yang belum melaporkan LHKPN-nya tersebut, keduanya saat ini masih aktif sebagai petinggi dari lembaga negara," jelas dia.

Selain soal LHKPN, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Selamatkan MK juga menyoroti beberapa hal lain. Poin pertama, mereka menyoroti soal para calon hakim MK yang perlu memiliki pemahaman terhadap isu hak asasi manusia (HAM) dan kepemiluan. Hal itu dilihat dari tren pengujian undang-undang (UU) dan konteks kebutuhan MK saat ini.

"Pengujian UU Pemilu dilakukan sebanyak 28 kali, UU MD3 sebanyak 12 kali, UU Ketenagakerjaan tujuh kali, KUHAP empat kali dan selebihnya dua atau sekali saja," jelas Deputi Direktur Indonesian Legal Roundtable (ILR), Erwin Natosmal Oemar, di kesempatan yang sama.

Sementara, Juru Bicara MK, Fajar Laksono, menyebutkan, sebaiknya calon hakim MK merupakan seorang yang mematuhi pelaporan LHKPN. Tapi, ia memahami pemilihan tersebut merupakan otoritas DPR RI sepenuhnya.

"Iyalah, kalau ada yang tertib ketentuan dan sama-sana punya kompetensi, kenapa tidak? Tetapi, itu sepenuhnya otoritas DPR," ujar Fajar saat dihubungi melalui pesan singkat, Selasa (5/2).

Fajar menyebutkan, hakim Konstitusi merupakan seorang negarawan dan harus punya citra baik tanpa cela pada semua aspek kehidupan. Jika LHKPN merupakan ketentuan, bahkan merupakan kewajiban, tentu sangat tepat melihat LHKPN sebagai prasyarat formil seseorang sebelum, selama, dan setelah menjadi hakim Konstitusi.

Menurutnya, LHKPN merupakan salah satu instrumen yang mencerminkan integritas, kepatuhan terhadap ketentuan, dan intensi sikap bersih serta transparan pada publik seorang yang mencalonkan diri sebagai hakim Konstitusi. Hal tersebut akan mendapatkan apresiasi dari publik jika memang dimiliki oleh seorang calon hakim konstitusi.

"Publik pasti akan memberi apresiasi tersendiri jika calon memiliki ciri demikian," terangnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement