Selasa 05 Feb 2019 18:52 WIB

Petani Banyumas Didominasi Generasi Tua

Modernisasi alat-alat pertanian memang mutlak diperlukan.

Rep: Eko Widiyatno/ Red: Yusuf Assidiq
Petani bekerja di sawah.
Foto: Antara.
Petani bekerja di sawah.

REPUBLIKA.CO.ID, BANYUMAS -- Menjadi petani dinilai sudah bukan lagi pekerjaan yang menarik perhatian generasi muda. Seperti di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, dari sekitar 100 ribu warga yang menggeluti bidang pertanian, hampir seluruhnya didominasi generasi tua.

''Sektor pertanian memang hampir tidak ada regenerasi sama sekali. Dari tahun ke tahun, jumlah petani terus berkurang karena tidak ada anak-anak muda yang berminat menekuni bidang pertanian,'' jelas Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (Dinpertan KP) Kabupaten Banyumas, Widarso, Banyumas, Widarso.

Menurutnya, mereka yang saat ini menggeluti dunia pertanian, umumnya generasi yang berusia di atas 50-an tahun. Terlebih pada sektor pertanian budi daya padi. Harga hasil gabah hasil panen yang rendah dan tingginya pertanian karena serangan hama, menyebabkan generasi muda enggan terjun ke sektor pertanian padi.

Mengingat kondisi tersebut, Widarso mengakui, modernisasi alat-alat pertanian memang mutlak diperlukan. ''Tanpa adanya alat-alat bantu pertanian, bukan tidak mungkin akan banyak sawah yang akhirnya tidak tergarap karena makin sedikitnya tenaga kerja,'' jelasnya.

Makin sedikitnya generasi muda yang berminat terjun ke bidang pertanian, juga bisa dibuktikan dari banyaknya sawah desa berstatus tanah bengkok yang digarap sendiri oleh perangkat desa.  Kebanyakan perangkat yang menggarap sawah desa sebagai tambahan penghasilan, justru menyerahkan hak penggarapan sawahnya pada orang lain.

Seperti di Desa Notog Kecamatan Patikraja, sebagian besar sawah bengkok perangkat desa, justru disewakan pada petani yang umumnya sudah berusia di atas usia 50 tahun. ''Kami sebenarnya berharap perangkat desa bisa menggarap sawah bengkoknya sendiri, sehingga perhatian pada bidang pertanian juga memadai. Tapi mereka justru enggan menggarap sawah bengkoknya sendiri dengan berbagai alasan,'' jelas anggota BPD Notog, Amin Setiadi.

Ia menyebutkan, areal sawah desa yang diberikan sebagai hak bengkok perangkat desa, sebenarnya cukup luas. Setiap perangkat berstatus Kaur atau Kasi, sedikitnya mendapat hak menggarap sawah bengkok seluas 1,5 hektare. Sedangkan sekretaris desa dan kepala desa, mendapat hak sawah bengkok masing-masing 2,5 hektare dan lima hektare.

Namun kebanyakan sawah bengkok tersebut, saat ini disewakan oleh perangkat desa pada petani lain dengan harga sewa bervariasi. ''Rata-rata harga sewa di desa kami, sekitar Rp 6 juta per hektare untuk setiap sekali garapan. Kalau setahun dihitung dua kali garapan, maka uang sewa yang diperoleh perangkat desa sebesar Rp 12 juta per tahun,'' jelas dia.

Menurutnya, para perangkat desa tersebut enggan menggarap sawahnya sendiri, karena resikonya memang tinggi. ''Bila tidak ada serangan hama, satu hektare memang bisa menghasilkan rata-rata empat ton gabah kering giling yang bila dijual bisa menghasilkan yang Rp 20 juta. Tapi kalau sedang musim hama, memang bisa tidak mendapat apa-apa karena ludes diserang hama,'' katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement