Selasa 05 Feb 2019 17:44 WIB

Pengamat: Integrasi Transportasi di Jakarta Belum Optimal

Integrasi transportasi minimal mencakup integrasi fisik, jadwal, dan sistem.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Reiny Dwinanda
Sejumlah motor ojek online terparkir dibahu jalan kawasan Casablanca, Jakarta, Rabu (7/12).
Foto: Republika/Prayogi
Sejumlah motor ojek online terparkir dibahu jalan kawasan Casablanca, Jakarta, Rabu (7/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat transportasi Universitas Soegijapranata, Djoko Setijowarno, menilai integrasi transportasi umum di Jakarta belum optimal. Menurut dia, transportasi umum yang terintegrasi minimal harus mencakup tiga hal dan itu belum dipenuhi Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI.

"Integrasi itu kan minimal ada integrasi fisik, integrasi jadwal, dan integrasi sistem pembayaran," ujar Djoko saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (5/2).

Baca Juga

Djoko mencontohkan, integrasi fisik antara stasiun kereta rel listrik (KRL) di Stasiun Sudirman terlalu jauh dengan halte Transjakarta Dukuh Atas. Kenyataan itu membuat penumpang lebih memilih melanjutkan perjalanannya menggunakan ojek daring.

Kemacetan pun terjadi akibat kerumunan pengemudi ojek yang menunggu penumpang. Djoko mengatakan, ketika integrasi fisik terlaksana seharusnya penumpang langsung mendapatkan akses secara mudah menjangkau moda transportasi umum lainnya.

"Harusnya, begitu orang keluar kereta ketemu di halte bus, jangan naik ojek," kata Djoko.

Jadwal keberangkatan transportasi umum harus juga terintegrasi agar para penumpang tak menghabiskan waktu lama dalam satu perjalanan. Kedatangan kereta di suatu stasiun harus diatur selaras dengan jadwal keberangkatan bus atau armada lainnya yang mengantarkan penumpang dalam jarak dekat.

Lalu dalam hal integrasi sistem pembayaran, menurut Djoko, saat ini di Jakarta hanya sebatas satu kartu yang bisa di-tap di lebih dari satu moda transportasi umum. Akan tetapi, Jakarta belum sampai kepada satu tarif pembayaran yang berlaku bagi antarmoda.

Ia membandingkan dengan kota di luar negeri, seperti Paris. Djoko memaparkan, di kota itu setiap penumpang hanya butuh satu kartu dengan satu kali pembayaran yang bisa dipilih pengguna, harian, mingguan, dan bulanan.

Para pengguna jasa layanan transportasi umum di Paris, menurut Djoko, bisa bebas menggunakan bebagai moda. Akan tetapi, ia mengakui perlu perencanaan yang matang jika diterapkan di Jakarta. Sebab, salah satu faktor tantangannya, operator pengelola moda transportasi umum di DKI berbeda-beda.

Sementara itu, anggota Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) Sudaryatmo mengatakan, untuk mendorong pengguna kendaraan pribadi beralih ke transportasi umum perlu adanya konektivitas atau jaringan antara moda angkutan umum lainnya. Ia menjelaskan, seharusnya Pemprov DKI menyediakan angkutan umum, paling tidak dapat melayani masyarakat dari rumah hingga ke tempat kerja.

Sudaryatmo mencermati transportasi umum, termasuk Transjakarta, belum menjawab kebutuhan tersebut. Ia pun menyarankan agar Pemprov DKI menambah jaringan untuk menghubungkan angkutan umum yang satu dengan lainnya.

"Kebutuhan konsumen itu kan point to point, angkutan umum, termasuk Transjakarta, belum menjawab kebutuhan itu," kata Sudaryatmo beberapa waktu lalu.

Sudaryatmo berharap, program Jak Lingko dapat menjawab kebutuhan konektivitas itu. Sebab, Jak Lingko bisa mewujudkan konektivitas antarmoda transportasi dengan dilakukannya rerouting atau perubahan rute. Hal itu untuk efisiensi pemanfaatan jalan dan manajemen lalu lintas.

Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan menargetkan transportasi umum di DKI Jakarta dapat terintegrasi pada 2020. Anies telah menyusun perencanaan agar semua transportasi bisa dalam satu jaringan yang sama.

“Tadi kami menyusun roadmap-nya sehingga semua operator berada dalam satu jaringan yang sama dan yang tak kalah penting adalah operator-operator itu bisa hidup dengan baik,” ujar Anies di Balai Kota DKI Jakarta, Senin (4/2).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement