Senin 04 Feb 2019 22:57 WIB

LBH Terima Pengaduan Soal Pinjaman Online Lebih 3.000 Kasus

Pengaduan meliputi pengenaan bunga yang sangat tinggi.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Andi Nur Aminah
Kasus penipuan Fintech (ilustrasi)
Foto: Republika TV/Havid Al Vizki
Kasus penipuan Fintech (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mencatat, hingga kini sudah ada lebih dari 3.000 pengaduan terkait pelanggaran yang dilakukan pinjaman online atau fintech pendanaan. Pengaduan meliputi pengenaan bunga yang sangat tinggi hingga penagihan yang mengabaikan privasi.

Pengacara dari LBH Jakarta Nelson Nikodemus Simamora menyebutkan, awalnya pada Mei 2018 ada sekitar 328 pengaduan mengenai fintech pendanaan. Kemudian sampai Oktober tahun lalu bertambah hingga mencapai 1.330 pengadu.

Baca Juga

"Sekarang total pastinya saya enggak tahu berapa, karena sampai tadi ada yang WA (WhatsApp) saya. Belum lagi ada yang datang ke ruang pengaduan. Kemungkinan kalau diperkirakan ada sekitar 3.000 pengaduan," ujarnya di Jakarta, Senin, (4/2).

Dari pengaduan tersebut, menurutnya, pelanggaran yang dilakukan para fintech pendanaan telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), yakni hak rasa aman serta hak privasi. Pasalnya, saat menagih ke peminjam, ada penagih yang melakukan penyebaran foto, mengancam, memfitnah, bahkan melakukan pelecehan seksual. "Bahkan ada yang disuruh jual ginjal. Ini membuat ada korban yang ingin bunuh diri," tegas Nelson.

Selain itu, dia menjelaskan, ketidakjelasan beberapa fintech pendanaan pun membuat masyarakat merasa rugi. "Para pengadu rata-rata bilang keselamatannya enggak jelas. Di aplikasi tertulis bunga sekian tapi nggak jelas itu tahunan atau bulanan sehingga bunga terus bertambah," ujarnya.

LBH Jakarta, kata dia, menilai Otoritas Jasa Keuangan (OJK) seharusnya tidak hanya menangani perusahaan fintech yang terdaftar saja, melainkan juga harus memberikan sikap terhadap korban fintech yang tidak terdaftar. Hal itu merupakan tanggung jawab otoritas sesuai Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK.

Pada pasal 6 dalam Undang-Undang tersebut disebutkan, seluruh layanan jasa keuangan menjadi tanggung jawab OJK. Dengan begitu seharusnya termasuk seluruh penyelenggara fintech pendanaan.

Lebih lanjut Nelson mengritik OJK yang telah menyerahkan otoritas negara ke Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI). Seperti diketahui, OJK mendirikan AFPI sebagai perpanjangan tangan dan dalam mengurusi fintech pendanaan. "Dengan OJK menyerahkan kewenangannya ke APFI, berarti menyerahkan sebagian kedaulatan negara kepada swasta. LBH berpandangan itu enggak boleh dilakukan dong," tegas Nelson.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement