Senin 04 Feb 2019 14:51 WIB

Pemerintah Diminta Buat Kerangka Kebijakan Kualifikasi Beras

Kerangka diperlukan untuk menentukan kualifikasi beras ekspor dan bukan.

Rep: Rahayu Subekti/ Red: Indira Rezkisari
Anggota Ombudsman RI Alamsyah Saragih memberikan peringatan dini mengenai impor komoditi beras, gula, garam, dan jagung di Gedung Ombudsman, Jakarta Pusat, Senin (4/2).
Foto: Republika/Rahayu Subekti
Anggota Ombudsman RI Alamsyah Saragih memberikan peringatan dini mengenai impor komoditi beras, gula, garam, dan jagung di Gedung Ombudsman, Jakarta Pusat, Senin (4/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ombudsman RI meminta pemerintah segera membuat kerangka kebijakan kualifikasi beras. Anggota Ombudsman Alamsyah Saragih mengatakan hal itu perlu dilakukan terlebih jika saat ini Perum Bulog berencana untuk mengekspor beras.

"Kerangka kualifikasi ini dilakukan untuk menentukan mana kualifikasi beras yang diekspor mana yang untuk operasi pasar," kata Alamsyah di Gedung Ombudsman, Jakarta Selatan, Senin (4/2).

Alamsyah menegaskan jika Bulog mau mengekspor beras jangan sampai salah melakukan manajemen stok. Dia menuturkan jangan sampai kualitas beras yang akan diekspor bagus, namun beras yang disediakan untuk menekan harga di dalam negeri tidak baik.

Untuk itu, Alamsyah menegaskan menyarankan pemerintah membentuk kerangka kebijakan sisa cadangan untuk perbaikan manajemen stok. "Terutama sebelum memutuskan mengambil langkah untuk ekspor beras," ujar Alamsyah.

Setelah melakukan kualifikasi stok beras, Alamsyah mengatakan pemerintah harus mengutamakan pemanfaatan stok berkualitas. Dengan begitu, beras tersebut dapat mengatasi kenaikkan harga akibat penerapan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) 80 persen, bukan memiliki prioritas pada ekspor.

Ombudsman mencatat impor beras dalam kurun waktu empat tahun dari 2015 sampai 2018, mencapai 4,7 juta ton. Sementara pada kurun waktu 2010 sampai 2014 mencapai 6,5 juta ton.

Selanjutnya, ombudsman memperkirakan jumlah total impor akan meningkat jika pemerintah melakukan kembali pada tahun ini. Hanya saja, dengan jumlah stok yang memadai mencapai 2,1 juta ton pada akhir 2018, pemerintah bisa tidak perlu melakukan impor pada tahun ini kecuali terjadi krisis besar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement