REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf menegaskan zero gizi buruk sangat mungkin terjadi di Indonesia. Hanya saja menurutnya perlu ada keberpihakan dan kesamaan persepsi antar pimpinan, baik Presiden, Gubernur, Bupati hingga perangkat desa.
Hal itu disampaikan politikus dari partai Demokrat ini dalam diskusi publik memperingati hari gizi yang diselenggarakan Koalisi Perlindungan Kesehatan Masyarakat (KOPMAS) di LBH Jakarta.
Salah satu yang diamini Dede Yusuf adalah usulan penyediaan ahli gizi disetiap desa mengingat sebagian penyebab penyakit di masyarakat bersumber dari makanan.
“Saya sangat setuju dengan penyediaan ahli gizi di desa-desa, karena masih ada 40 persen penyakit yang didapat masyarakat adalah faktor gizi dan makanan yang kurang terjaga,” ungkap Dede.
Tak hanya itu, masalah lingkungan dan kebiasaan masyarakat yang belum teredukasi juga menjadi penyebab persoalan gizi masyarakat, terutama anak-anak. Oleh karena itu, edukasi untuk keluarga penting untuk dilakukan, terutama mengenai asupan dalam masa 1.000 hari pertama kelahiran.
“Yang dilakukan pemerintah saat ini adalah intervensi gizi kepada ibu dan anak. Tetapi kalau diperhatikan, ada persoalan lain seperti lingkungan dan kebiasaan masyarakat serta jajanan yang tidak kita perhatikan. Masih banyak ibu-ibu yang memberikan makanan jajanan dan susu kental manis untuk bayi dan anak,” pungkas Dede.
Terkait pengawasan asupan pangan keluarga, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah mengeluarkan PerBPOM No. 31 Tahun 2018 tentang label pangan pada 31 Oktober 2018 yang lalu. Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran produsen untuk dapat ikut bertanggung jawab dalam memastikan asupan gizi masyarakat.
Direktur Registrasi Pangan Olahan BPOM Anisyah S.Si,Apt, MP, mengatakan BPOM meminta para produsen untuk segera melakukan penyesuaian terhadap PerBPOM No. 31 Tahun 2018. Diantara yang menjadi perhatian terkait gizi anak adalah paal-pasal mengenai label dan iklan produk pangan olahan.
“Terkait Susu Kental Manis (SKM), kita sudah mapping produk-produk yang beredar, ternyata lebih banyak produk kriemer dibanding SKM. Jadi kita akan undang semua, terutama para pelaku usaha agar segera menyesuaikan,” jelas Anisyah.
Aturan tentang label dan iklan SKM yang sempat menjadi polemik beberapa bulan lalu telah diatur melalui PerBPOM No 31 Th 2018 tentang Label Pangan Olahan. BPOM memberikan jangka waktu selama 30 bulan untuk produsen dan pelaku usaha dapat menyesuaikan label dan iklan produknya.
Meski demikian, disampaikan Anisyah, BPOM akan mendorong penyesuaian segera dilakukan.“Walaupun peraturan menerapkan grace periode 30 bulan, namun kita akan dorong agar segera, karena itu perlu sinergi agar masyarakat teredukasi,” tegas Anisyah.